Sabtu, 13 Desember 2008

ASMA BRONCHIALE

ASMA BRONCHIALE

Definisi
Asma bronkial adalah penyakit saluran napas dengan karakteristik berupa peningkatan reaktivitas ( hiperaktivitas) trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi klinik berupa penyempitan saluran napas yang menyeluruh. Inflamasi pada saluran napas berperan penting dalam mekanisme terjadinya hiperaktivitas bronkus. (SPM RSUP Dr.Sardjito).



GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiper-reaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsang. (Pedoman Nasional Asma Anak).
Dalam penerapan klinis definisi diatas kurang praktis, maka Pedoman Nasional Asma Anak menggunakan definisi yang lebih praktis dalam bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik dan/atau kronik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. Pengertian dari Batuk Kronik Berulang (BKB) yaitu batuk yang berlangsung lebih dari 14 hari dan/atau tiga atau lebih episod dalam waktu 3 bulan berturut-turut. (pedoman nasional asma anak).

Epidemiologi
Asma bronkial merupakan penyakit respiratorik kronik yang tersering dijumpai pada anak. Asma dapat muncul pada usia berapa saja, mulai dari balita, prasekolah, sekolah atau remaja. Prevalensi di dunia berkisar antara 4-30%, sedangkan di Indonesia sekitar 10% pada anak usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak usia sekolah menengah.
Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang lebih banyak terkena daripada anak wanita, estela itu inciden menurut jenis kelamin sama.

Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
Menurut Mengatas dkk, terdapat berbagai kelainan kromosom pada patogenesis , antara lain pada:
a. Kromosom penyebab kerentanan alergi yaitu kromosom 6q, yang mengkode human leucocyte antigen (HLA) kelas II dengan subset HLA-DQ, HLA-DP dan HLA-DR, yang berfungsi mempermudah pengenalan dan presentasi antigen.
b. Kromosom pengatur produksi berbagai sitokin yang terlibat dalam patogenesis asma, yaitu kromosom 5q. Sebagai contoh gen 5q31-33 mengatur produksi interleukin (IL) 4, yang berperan penting dalam terjadinya asma. Kromosom 1, 12, 13, 14, 19 juga berperan dalam produksi berbagai sitokin pada asma.
c. Kromosom pengatur produksi reseptor sel T yaitu kromosom 14q.
b. Faktor presipitasi
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Patofisiologi
Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran respiratorik menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma : batuk, sesak dan wheezing dan disertai hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensorik pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan teruama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan.
Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrin C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen post-ganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napasakibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik. Selain itu, hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.(PNAA)
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa karena sumbatan mukus dan inflamasi saluran pernafasan. Sumbatan jalan nafas yang terjadi tidak merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara ( air trapping ) dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan nafas yang tidak merata diseluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin dapat mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkopensasi hipoksia terjadi hperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu ika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas. Selain itu dapat terjadi pula asidosid metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas dan masukan kalori yang kurang.
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis. (hot topics in pediatrics).
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang enyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), factor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.

Klasifikasi
Dalam tatalaksana asma jangka panjang, KNAA membagi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan, gejala dan tanda di luar serangan, serta obat yang digunakan sehari-hari, menjadi tiga: yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Selain klasifikasi derajat penyakit asma, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangan yang terbagi atas serangan ringan, sedang dan berat. Jadi perlu dibedakan disini antara derajat penyakit asma dengan derajat seranga asma.
Setiap derajat penyakit asma dapat mengalami derajat serangan yang mana saja. Sebagai contoh, seorang penderita asma persisten dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya bisa saja seorang pasien yang tergolong asma episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian. Dengan kata lain derajat serangan asma tidak tergantung pada derajat penyakit asma. Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit, seperti dapat terlihat dalam tabel berikut ini.
Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak
Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru
Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru
Asma Episodik Sering (sedang)
Asma persisten (berat)
1. frekuensi serangan
<>
> 1x / bulan
Sering
2. lama serangan
<>
> 1 minggu
Hampir sepanjang tahun, tidak ada remisi
3. intensitas serangan
biasanya ringan
Biasanya sedang
Biasanya berat
4. antara serangan
Tak ada gejala
Sering ada gejala
Gejala siang dan malam
5. tidur dan aktivitas
Tidak terganggu
Sering terganggu
Sangat terganggu
6. pemeriksaan fisik diluar serangan
Normal (tidak ditemukan kelainan)
Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
7. obat pengendali (anti inflamasi)
Tidak perlu
Perlu, non steroid
Perlu, steroid
8. uji faal paru (diluar serangan)
PEF / PEV1 > 80%
PEF / PEV1 60-80%
PEF / PEV1 <>
9. variabilitas faal paru (bila ada serangan)
Variabilitas > 15%
Variabilitas > 30%
Variabilitas > 50%


Penilaian Derajat Serangan Asma

Parameter klinis, fungsi paru, laboratorium
Ringan
Sedang
Berat
Ancaman henti napas
Sesak (breathless)
Berjalan

Bayi:
Menangis keras
Berbicara

Bayi:
  • Tangis pendek dan lemah
  • Kesulitan menetek /makan
Istirahat

Bayi:
Tidak mau minum / makan

Posisi
Bisa berbaring
Lebih suka duduk
Duduk bertopang lengan

Bicara
Kalimat
Penggal kalimat
Kata-kata

Kesadaran
Mungkin irritable
Biasanya irritable
Biasanya irritable
Kebingungan
Sianosis
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Nyata
Wheezing
Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi
Nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi
Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop
Sulit / tidak terdengar
Penggunaan otot bantu respiratorik
Biasanya tidak
Biasanya ya
Ya
Gerakan paradok torako-abdominal
Retraksi
Dangkal, retraksi interkostal
Sedang, ditambah reraksi suprasternal
Dalam, ditambah napas cuping hidung
Dangkal / hilang
Frekuensi napas
Takipneu
Takipneu
Takipneu
Bradipneu
Frekuensi nadi
Normal
Takikardi
Takikardi
Bradikardi
Pulsus paradoksus (pemeriksaanya tidak paktis)
Tidak ada
10 mmHg
Ada
10-20 mmHg
Ada
> 20 mmHg
Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik
PEFR atau FEV1 (% nilai normal diduga atau nilai terbaik dari pasien)
  • Pra bonkodilator
  • Paska bronkodilator




> 60%

> 80%




40-60%

60-80%




<>

<>
Respon <>

SaO2 %
> 95%
91-95%
90%

PaO2
Normal (biasanya tidak perlu diperiksa)
> 60 mmHg
<>

PaCO2
<>
<>
> 45 mmHg


Diagnosis
Diagnosis asma pada anak ditegakkan berdasarkan terutama pada anamnesis dan pemeriksaan fisik; pemeriksaan penunjang mempunyai peran menunjukkan berat-ringannya dan untuk kepentingan terapi. Oleh karena gejala asma pada anak sangat bervariasi maka diagnosis asma anak kadang sulit ditegakkan.
Untuk diagnosis asma pada anak dapat diikuti/disusun suatu algoritma diagnosis asma anak berdasarkan konsensus nasional dan internasional (lihat algoritma). Dalam algoritma tersebut tercakup anamnesis, beberapa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan atas indikasi dan bila fasilitas tersedia. Pemeriksaan fisik waktu serangan dapat ditemui frekuensi nafas meningkat, amplitudo nafas dangkal, sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis, gerakan dinding dada berkurang, hopersonor, bunyi nafas melemah, wheezing ekspirasi, ekspirium diperpanjang, ronki kering, ronki basah dan suara lendir. Pemeriksaan laboratorum darah tepi dan sekret hidung, IgE total dapat meningkat. Analisis gas darah dapat menunjukkan asidosis, CO2 meningkat. Pada uji fungsi paru nilai PEFR atau FEV1 menurun (ada obstruksi), pada serangan berat tak dapat diperiksa/ditunda dulu. Foto rontgen dada perlu untuk menyingkirkan penyakit penyerta atau adanya komplikasi (atelektasis, pneumotoraks). Gambaran radiologis dapat ditemukan emfisema paru dan komplikasi seperti diatas. Penyakit penyerta seperti sinusitis, tuberkulosis paru mungkin juga dapat ditemui pada pemeriksaan radiologis. Berat ringannya asma seperti pada tabel pembagian asma anak dan ini penting dalam penanggulangan asma. (SPM sardjito)
Berdasarkan definisi operasional sebelumnya, maka untuk mengurangi underdiagnosis, perumus Konsensus Internasional Penanggulangan Asma Anak menyusun suatu alur diagnosis asma pada anak. Wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, khususnya anak dibawah 3 tahun, respon yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mundukung diagnosis asma anak melalui 3 cara, yaitu didapatkannya:
  1. Variabilitas pada PFR atau FEV1 ≥ 15%.
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung ≥ 2 minggu.
  1. Reversibilitas pada PFR atau FEV1 ≥ 15%.
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
  1. Penurunan ≥ 20% pada FEV1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu diupayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk mengetahui keberhasilan tatalaksana asma.
Pada anak dengan tanda dan gejala asma yang jelas, serta respon terhadap pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respon terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar maka perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma atau asma dengan penyakit penyerta.
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh atau kelainan fokal paru, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto rontgen paru, uji fungsi paru dan uji provokasi. Selain itu mungin juga perlu diperiksa foto rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.
Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan asma. Dengan cara tersebut diatas, maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi. Pasien Tb yang memerlukan steroid untuk pengobatan asmanya, steroid sistemik jangka pendek atau steroig inhalasi tidak akan memperburuk tuberkulosisnya karena sudah dilindungi dengan obat Tb. Menurut pengamatan di lapangan, sering terjadi overdiagnosis TB dan underdiagnosis asma, karena pada pasien anak dengan batuk kronik berulang seringkali yang pertama kali dipikirkan adalah TB, bukan asma.
Berdasarkan alur diagnosis asma anak, setiap asma yang menunjukkan gejala batuk dan/atau wheezing maka diagnosis akhirnya dapat berupa:
  1. Asma
  2. Asma dengan penyakit lain
  3. Bukan asma

Tidak ada komentar: