Sabtu, 13 Desember 2008

PENATALAKSANAAN ASTMA

Disusun Oleh

Muhammad Akbar

Tata Laksana

Penanggulangan asma pada anak meliputi:

  1. Mencegah serangan dengan menghindari faktor pencetus.

  2. Mencegah serta mengatasi proses inflamasi dengan obat-obat anti inflamasi (golongan steroid, kromoglikat, atau ketotifen), pilihan pertama penggunaan secara inhalasi.

  3. Penanggulangan bronkospasmus dengan obat-obat bronkodilator.

  4. Penanggulangan edema mukosa saluran nafas, dengan obat anti inflamasi inhalasi (terutama) atau secara oral/parenteral.

  5. Penanggulangan sumbatan lendir, dengan banyak minum, mukolitik sehingga lendir encer dan mudah dikeluarkan dan peranan fisioterapi sangat penting dalam hal ini.

  6. Menciptakan kondisi jasmani yang baik meliputi kebugaran dan ketahanan fisik dengan latihan jasmani atau senam pernafasan.


Tata Laksana Jangka Panjang

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah:

  1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.

  2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah

  3. Gejala tidak timbul siang atau malam hari

  4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.

  5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan

  6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda ada yang menyebutkan obat pelega atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi.

Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai obat pencegah atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat-obat pengendali diberiakn pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten.


Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator ß-agonis hirupan kerja pendek (Short Acting ß2-Agonist, SABA) atau golonag santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka ß-agonis diberikan per-oral. Penggunaan tofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat ß-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.

Dalam alur tatalaksana jangka panjang terlihat terlihat bahwa jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responnya tetap tidak baik dalam 4-6 minggu, maka tatalaksananya berpindah ke Asma Episodik Sering.


Asma Episodik Sering

Jika penggunaan ß-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.

Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standard. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 μg/hari budesonid (50-100 μg/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 μg/hari budesonid (100-200 μg/hari flutikason) untuk anak berusia diatas 12 tahun.

Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak respon (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 μg/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkedali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.


Asma Persisten

Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaiknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tegantung pada kasusnya. Dosis teroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 μg/hari. Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respon yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan teroid menjadi dosis medium atau terapi steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting ß2-Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR). Yang dimaksud dosis medium adalah setara dengan 200-400μg/hari budesonid untuk anak berusia kurang dari 12 tahun dan 400-600μg/hari budesonid untuk anak berusia diatas 12 tahun.

Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetpa terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis steroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA atau TSR atau ALTR. Yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan >400 μg/hari budesonid untuk anak berusia kurang dari 12 tahun dan 600 μg/hari budesonid untuk anak berusia diatas 12 tahun.

Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800ug/hari namun tetap tidak mempunyai respon, maka baru digunakan steroid oral. Sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari.

Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan ß-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.


Tata Laksana Serangan Asma

Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk:

  1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

  2. Mengurangi hipoksemia

  3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

  4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan

KNAA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana dirumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien atau orang tuanya sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup.


Penanganan di rumah

Terapi awal berupa inhalasi ß-agonis kerja pendek hingga 3 kali dalam satu jam. Kemudian keluarganay diminta melakukan penilaian respon untuk penentuan derajat serangan yang kemudian ditindak lanjuti sesuai derajatnya. Untuk tatalaksana di rumah kepada pasien perlu ditekankan ketersediaan obat pereda baik dalam bentuk obat oral ataupun obat hirupan yang setiap saat dapat digunakan. Bila dengan bronkodilator saja belum membantu, tambahkan steroid oral.


Penanganan di Klinik atau IGD

Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian ß-agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairqan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang 2 kali lagi dengan selang 20 menit. Pada pemberian ke-tiga dapat ditambahkan obat antikolinergik.

Jika menurut penilaian awal pasien jelas dalam serangan berat, langsung berikan nebulisasi ß-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik.

    Serangan Ringan

Jika dengan satu kali nebulisasi pasien menunjukkan respon yang baik (complete response), berarti derajat seranganya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus dan ada riwayat serangan asma sedang/berat, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari).


Serangan Sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai dengan pedoman diatas. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, berikan oksigen 2L/menit, kemudian pasien diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari, dan dipasang jalur parenteral.


Serangan Berat

Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turutpasien tidak menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman) maka pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan ß-agonis dan antikolinergik. Pada keadaan ini harus dicari penyebab kegagalan tatalaksana yang biasanya adalah keadaan dehidrasi, asidosis dan adanya gangguan ventilasi akibat atelektasis.

Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti nafas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan ancaman henti nafas, langsung dibuat foto rontgen thoraks guna mendeteksi komplikasi pneuomothoraks dan/atau pneumomediastinum.

Mengingat sampai saat ini belum semua dokter memiliki alat nebulisasi di tempat praktek maupun di klinik/rumah sakitnya, maka penggunaan obat adrenalin sebagai alternatifnya dapat digunakan. Adrenalin diberikan secara subkutan, dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali, dengan dosis maksimalnya 0,3 ml/kali. Sesuai dengan panduan tatalaksana di IGD, adrenalin dapat diberikan 3 kali berturut-turut dengan selang 20 menit.


Penanganan di Ruang Rawat Sehari

Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednison, prednisolon atau triamsinolon. Setelah di IGD menjalani nebulisasi 3 kali dalam 1 jam dengan respon parsial, di RRS diteruskan dengan nebulisasi ß-agonis ± antikolinergik tiap 2 jam. Bila responnya baik, frekuensi nebulisasi dikurangi tiap 4 jam, kemudian tiap 6 jam. Jika dalam 12-24 ja m klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/IGD. Bila dalam 12 jam responnya tetap tidak baik maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap untuk mendapat steroid dan aminofilin parenteral.

Penanganan di ruang rawat inap:

  1. Pemberian oksigen diteruskan

  2. Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya.

  3. Steroid diberikan tiap 6-8 jam, secara bolus IV/IM/oral.

  4. Nebulisasi ß-agonis ± antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.

  5. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:

  • Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 0-30 menit.

  • Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

  • Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 6-8 jam), dosis awal aminofilin diberikan ½-nya.

    Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.

  1. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti pemberian peroral.

  2. Jika dalam 4 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat ß-agonis (hirupan atau oral) atau kombinasi dengan teofilin, yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid dilanjutkan secara oral hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 untuk re-evaluasi tatalaksana.

  3. Jika dengan tatalaksana diatas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda ancaman henti nafas, maka pasien dialih ke ruang rawat intensif.

Penanganan di Ruang Rawat Intensif

Pasien yang sejak awal masuk IGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman henti nafas, langsung dirawat di ruang rawat intensif. Secara ringkas kriterianya adalah sebagai berikut:

  • Tidak ada respon sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau perburukan asma yang cepat.

  • Adanya kebingungan, pusing dan tanda lain ancaman henti nafas atau hilangnya kesadaran.

  • Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap.

  • Ancaman henti nafas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2 > 60 mmHg, walaupun tentu saja gagal nafas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).


Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :

1. Status asmatikus

2. Atelektasis

3. Hipoksemia

4. Pneumothoraks

5. Emfisema

6. Deformitas thoraks

7. Gagal nafas


Prognosis

Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45-85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort dan lamanya pemantauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau tersapat salah satu di atas disertai 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofilia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.


Tidak ada komentar: