Rabu, 03 Desember 2008

MALARIA

APA YANG PERLU ANDA KETAHUI TENTANG MALARIA ?
Oleh: Drs.Sarjaini Jamal,MSc(PH),Apt

Pada awalnya dianggap penyebab malaria adalah udara yang buruk (mal=buruk, aria= udara). Penyakit ini mempunyai berbagai sinonim ada yang menyebutnya penyakit hutan , kuro dan dunia barat menyebutnya paludism. Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit kecil yang disebut protozoa dari genus plasmodium. Ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopeles dari berbagai varietas . Terdapat lebih dari 250 varietas nyamuk Anopheles tapi hanya kira -kira 50 saja yang diketahui dapat menjadi vektor malaria. Nyamuk ini dapat hidup di belahan bumi 45 derajat lintang utara sampai 40 derajat lintang selatan.

Dari jenis plasmodiumnya dikenal p.falciparum, p.vivax , p.ovale, p. malariae. Plasmodium palciparum disebut juga malignan tertiana, subtertiana, atau estivo-autumnale malaria dan p. vivax menyebabkan malaria vivax, benign tertiana dan p.malarie menyebabkan malariae malaria atau malaria quartana,p.ovale menyebabkan malaria ovale. Plasmodium malariae jarang terdapat pada daerah subtropis. Plasmodium falciparum relatif ditemukan lebih luas di semua wilayah tropis. Plasmodium ovale relatif jarang dilaporkan ada di daerah di Afrika termasuk Asia,Eropa dan Afrika Selatan. P.vivax banyak ditemukan dari tipe lain, banyak menginfeksi penduduk di daerah panas / tropik. Siklus hidup parasit penyebab malaria dalam tubuh manusia terdiri dari fase eksogenus seksual,pembentukan sporogoni dengan pembiakan dalam tubuh nyamuk dan fase endogenus aseksual, pembentukan schizogoni dengan pembiakan dalam tubuh manusia.

Selesainya pembiakan siklus eksogenus dalam tubuh nyamuk berbeda-beda tergantung pada jenis plasmodium dan lingkungannya (temperatur dan kelembaban).P.falciparum dan p.vivax memerlukan waktu 7 - 14 hari,p.ovale beberapa hari lebih lama dan p. malariae 3 minggu atau lebih.Fase endogenus atau fase manusia siklus dimulai dari masuknya sporozoit waktu nyamuk menggigit sampai ditemukan dalam darah tepi kira-kira setengah jam dalam bentuk eksoeritrosit, selanjutnya parasit masuk dalam sel parenchim hati. Semua bentuk mungkin ditemukan dalam darah dapat diwarnai dengan baik menggunakan pewarna Romanwsky dimana cytoplasma akan bewarna biru dan kromatin serta intinya akan bewarna merah terang. Pigmen yang dihasilkan parasit dalam pertumbuhannya akan menyebabkan warna coklat atau granul kehitaman. Tiap jenis plasmodium memberikan bentuk yang spesifik sehingga dengan pemeriksaan mikroskopis dapat dibedakan antara satu dengan jenis yang lain.

Ras negro relatif lebih imun terhadap p.vivax. P vivax dan p.falciparum menghasilkan imunitas yang homologous. Tak ada imunitas silang diantara plasmodium. Imun terhadap p.vivax tidak imun terhadap p.falciparum.Imunitas ini yang diekpresikan oleh toleransi dan premunisi merupakan bagian terpenting dalam mempelajari epidemiologi malaria. Tingkat endemisitas dan transmisi malaria di satu wilayah ditentukan oleh prevalensi malaria pada penduduk, spesies nyamuk malaria yang ada , jumlah manusia yang susceptible sebagai new host, kondisi cuaca setempat keadaan geografis dan hidrografis setempat sebagai perindukan nyamuk anopheles. Di daerah pegunungan tropis ditemukan p.vivax dan p.palcifarum dapat ditemukan di daerah panas dan lembab. Di daerah lebih tinggi p..falciparum jarang ditemukan. P.vivax biasanya endemik didaerah ketinggian 8000 kaki. Tingkat infeksi pada manusia sebagai reservoir dapat diukur melalui spleen rate, adult spleen rate, parasite rate dan transmission index . Tranmisi rendah jika spleen rate dibawah 10 % , endemis 10-25 %, endemis tinggi 25-50 % dan sangat endemis 50 % atau lebih.

Indonesia terletak di daerah tropis dengan curah hujan tinggi , topografi yang berawa dan penduduk yang dekat dengan lingkungan menyebabkan siklus kehidupan nyamuk vector malaria yang melibatkan manusia dapat berlangsung dengan baik. Daerah kawasan Timur Indonesia (Katimin) merupakan endemik malaria dengan penduduk yang jarang dan sarana transportasi yang terbatas. Pertanyaan sekarang adalah mungkinkah malaria dapat dibasmi di daerah ini sebagaimana daerah-daerah lain di Jawa yang sebagian besar telah bebas malaria.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa hal yang perlu dibahas lebih lanjut .
Pertama ,masalah malaria bukan hanya masalah bagaimana penderitanya dapat diobati dengan baik tetapi juga bagaimana pencegahan serta pembasmian vector / nyamuk malaria dilakukan. Kedua, ruang lingkupnya saling kait mengkait ,bersifat lintas sektor dan berhubungan dengan perilaku masyarakat. Upaya emberantasan malaria bukan hanya menjadi tugas Dep.Kesehatan tetapi juga ,menjadi bagian dari Kementrian pengembangan sarana daerah dan lingkungan hidup, komunikasi dan informasi serta departemen pendidikan. Para pengambil keputusan sudah tahu bahwa masalah pemberantasan malaria bukanlah hal yang mudah, diperlukan biaya, alat , tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Semua harus serentak dilakukan dan potensi daerah harus dapat dimanfaatkan dan dikoordinir secara baik sehingga masyarakat merasa memiliki dan mendapatkan manfaat dari kegiatan ini.

Sejak 2000 tahun yang silam pengobatan malaria dengan ramuan akar,daun dan bunga dari bermacam-macam tumbuhan telah dilakukan di Cina daratan maupun oleh orang Indian di benua Amerika. Sebuah laporan yang terkenal tentang pengobatan malaria adalah tentang apa yang dialami oleh seorang putri raja Cinchon dari Peru pada tahun 1630. Putri ini tertolong dari malaria tertiana setelah mendapat pengobatan dari rebusan kulit batang kayu yang terdapat di negeri tersebut. Kemudian pada saat penyakitnya kambuh dia meninggal karena tidak membawa kulit kina yang dibutuhkan untuk obat malaria diatas kapal Cartagena dalam perjalanan ke Eropa. Pertamakali yang menulis tentang kina dalam literatur medik Eropa adalah Herman Van Der Heyden pada tahun 1643. Kulit pohon itu dicatat sebagai cortex Peruanus dalam London Pharmacopeae (1677). Pohonnya dinamakan Cinchona oleh ahli biologi Linnacus (1749) berasal dari famili Rubiaceae.
Dua ratus tahun sesudah itu (tahun 1820) ilmuwan Perancis yang bernama Pierre Pelletier dan Yoseph Caventou berhasil mengekstraksi alkaloida quinine dan cinchonine dari kulit Cinchona. Sejak itu mulailah quinine (kinin) dipak tablet,injeksi maupun ekstrak. Namun ekstrak yang dulu ditujukan bagi anak-anak sekarang sudah jarang dipakai dan hanya digunakan sebagai campuran pada tonicum.sebagai penambah nafsu makan.

Di Indonesia sejarah kina dimulai pada tahun 1865, ditanam di Jawa dengan bibit yang dibawa oleh Charles Ledger dari Peru dan tanaman kina itu disebut Cinchona ledgeriana. Biji tersebut juga ditanam di India (Madras ) tapi kadar kinin rendah dan tidak diteruskan. Biji yang ditanam daerah pebukitan di Bandung Selatan yang disebut Pangalengan dengan ketinggian antara 800-1.950 m di atas permukaan laut menghasilkan kina dengan kadar kinin yang lebih baik, dikenal pada waktu itu sebagai kina Jawa.. Di daerah Pangalengan sampai sekarang masih terdapat perkebunan kina yang dikelola oleh PT Kimia Farma maupun oleh rakyat sebagai sumber pasokan untuk pabrik kina di Bandung . Jenis yang ditanam adalah Cinchona sucrirubra yang mengandung kadar kinin lebih tinggi.

Karena efek sampingnya yang tidak nyaman ( gangguan pendengaran,sakit perut,mual dan pusing) menyebabkan kina sudah mulai ditinggalkan sebagai obat antimalaria. Fungsinya digantikan oleh obat-obat sintetis seperti klorokuin, pamaquine dan quinacrine (Atebrine) , kombinasi sulfadoksin dengan pyrimethamin, primaquine, doxycycline, artemisin dan turunannya. Tetapi sejak adanya laporan P.falciparum yang sudah resisten terhadap klorokuin dan pyrimethamine, kinin mulai dipakai lagi terutama kinin grips untuk kasus malaria berat yang perlu perawatan.
Pencegahan bagi anda yang sering bepergian ke daerah rawan malaria dapat menggunakan klorokuin 3 tablet sekali seminggu atau sulfadoksin kombinasi dengan pyrimethamin 2-3 trablet selama 1-2 hari sebelum berangkat,selama tinggal dan dilanjutkan 2-4 minggu sesudah kembali dari daerah malaria . Berdasarkan pengalaman doxycycline 1 kapsul tiap hari juga dapat digunakan sebagai pencegahan

Rehabilitasi Kardiak

Rehabilitasi Kardiak


Pendahuluan

Rehabilitasi kardiak bertujuan untuk mengurangi batasan fisik yang dialami oleh pasien yang mengalami konsekuensi patophysiologis dan psikologis dari kejadian kardiovaskuler.

Gangguan kardiovaskuler merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada negara-negara industri, tercatat sebanyak 50% dari seluruh jumlah kematian tahunan. Di Amerika Serikat, lebih dari 14 juta orang mengalami beberapa bentuk penyakit arteri koroner (coronary artery disease/CAD) atau komplikasinya, termasuk gagal jantung kongestif, angina, dan arrhymia. Dari angka ini, sekitar 1 juta penderita MI yang masih hidup dan lebih dari 300.000 pasien yang menjalani operasi bypasss koroner pertahunnya, merupakan calon peserta rehabilitasi kardiak.

Pada dasarnya rehabilitasi kardiak membutuhkan pasien dengan resiko lebih rendah yang dapat berolahraga/mengikuti latihan tanpa masalah. Akan tetapi, evolusi cepat yang mengejutkan pada penanganan CAD telah mengubah demografi pasien yang menjadi kandidat peserta pelatihan rehabilitasi kardiak. Pada saat ini, sekitar 400.000 pasien yang telah menjalani angioplasti koroner setiap tahun mendapatkan manfat dari rehabilitasi kardiak. Lebih banyak lagi, sekitar 4,7 juta pasien dengan CHF juga dapat mendapatkan program rehabilitasi ringan, begitu pula pada pasien yang telah mendapatkan transplantasi jantung.

Ulasan ini akan memaparkan tujuan, indikasi, komponen program, latihan olahraga, pengawasan, manfaat, resiko, masalah keamanan, outcome, dan efektivitas biaya dari rehabilitasi kardiak.

Sejarah

Pada tahun 1930an, pasien dengan infark myokard (MI) dianjurkan untuk melakukan bed rest selama 6 minggu. Terapi kursi diperkenalkan pada tahun 1940, dan pada awal tahun 1950, jalan santai selama 3-5 menit perhari dianjurkan, selama 4 minggu. Para ahli kemudian secara perlahan menyadari bahwa ambulasi dini dapat mencegah komplikasi dari bed rest, termasuk emboli paru, dan tidak meningkatkan resiko apapun. Akan tetapi, keamanan dari olahraga yang tidak diawasi ini menjadi masalah yang kuat; hal ini yang kemudian menjadi alasan pengembangan program rehabilitasi berstruktur dan diawasi oleh dokter, termasuk pengawasan klinik, disertai monitoring elektrokardiograph.

Pada tahun 1950an, Hellerstein mempresentasikan metodologinya untuk rehabilitasi komprehensif pada pasien yang telah sembuh dari suatu kejadian kardiak akut. Ia menerapkan pendekatan multidisipliner pada program rehabilitasi. Pendekatan ini yang kemudian diadopsi pada program rehabilitasi kardiak di seluruh dunia. Walaupun dengan banyaknya kemajuan, ide orisinil Hellerstein tidak banyak berubah secara bermakna. Akan tetapi, akibat demografi pasien yang berubah-ubah, kebanyakan pasien sekarang memiliki kesempatan mendapatkan keuntungan yang diberikan oleh rehabilitasi kardiak. Intervensi multifaktor termasuk, modifikasi faktor resiko agresif, telah menjai bagian dari rehabilitasi kardiak sekarang ini.

Definisi

Menurut US Public Health System (USPHS), program rehabilitasi kardiak didefinisikan sebagai program yang terdiri dari hal-hal dibawah ini :
a. Evaluasi Medis
b. Latihan Pilihan
c. Edukasi
d. Konseling pada pasien dengan penyakit jantung
Rehabilitasi kardiak harus bersifat komprehensif sekaligus ekslusif (berbeda untuk masing-masing individu).

Tujuan utama dari program rehabilitasi kardiak adalah :

A. Tujuan Jangka Pendek
- Mengembalikan kondisi pasien sedapat mungkin sehingga pasien dapat melakukan aktivitas seperti biasanya sebelum sakit
- Mengurangi efek fisiologik dan psikososial dari penyakit jantung
- Menurunkan resiko cardiac arrest mendadak atau reinfark
- Mengendalikan gejala penyakit jantung

B. Tujuan Jangka Panjang
- Mengidentifikasi dan penanganan faktor resiko
- Menstabilkan atau menurunkan proses atherosklerotik
- Meningkatkan status psikologis pasien

Tujuan

Identifikasi pasien dengan resiko rekurensi kejadian kardiak merupakan inti untuk memformulasi strategi medik, invasif, dan rehabilitatif untuk mencegah rekurensi tersebut. Pasien dengan resiko rendah dan moderat biasanya menjalani rehabilitasi lebih awal. Tujuan utama dari rehabilitasi kardiak adalah :

* Menurunkan dampak patofisiologik dan psikososial dari penyakit jantung
* Menurunkan resiko terjadinya reinfark atau kematian mendadak
* Menurunkan gejala kardiak
* Mengurangi terjadinya atherosclerosis dengan menjalankan program latihan olahraga, edukasi, konseling, dan penurunan faktor resiko
* Mengintegrasikan kembali pasien penyakit jantung pada status fungsional optimal dalam keluarga dan sosial

Rehabilitasi kardiak secara konsisten menunjukkan perbaikan pada toleransi aktivitas dan psikososial yang baik tanpa peningkatan resiko komplikasi yang bermakna

Tujuan jangka pendek rehabilitasi kardiak yaitu mengembalikan keadaan fisik, psikologis, dan social. Sementara tujuan jangka panjang yaitu mempromosikan perilaku hidup jantung sehat yang akan mengarahkan seseorang dapat kembali pada produktivitas dan aktivitas sehari-hari yang menyenangkan.

Rehabilitasi kardiak sama bermanfaat bagi pria dan wanita. Pasien lansia juga dapat memperoleh manfaat bermakna dari program rehabilitasi

Penerapan

The Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR); the American Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation (AACVPR), dan National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) telah mengenal beragam tingkat kesadaran dan pemahaman mengenai peran rehabilitasi kardiak pada dokter, penyedia jasa kesehatan lainnya, pembayar pihak ketiga, dan pasien dengan penyakit jantung.

Pada masa lalu, ditemukan bahwa hanya 11% dari pasien dengan kejadian koroner akut yang mengikuti program rehabilitasi. Akan tetapi, terdapat bukti tingkat partisipasi sekarang ini telah meningkat. Sekitar 38% pasien US dan 32% pasien dari Kanada yang terlibat dalam Penerapan Streptokinase Global dan t-PA untuk Penelitian Arteri Koroner Oklusif juga mengikuti program rehabilitasi.

Fisiologi Latihan dan Manfaat Kardiovaskuler

Vasodilatasi koroner sangat dipengaruhi oleh bioavailibilitas nitic oxide (NO), dimana diproduksi oleh aktivitas enzim NO synthase yang dikeluarkan endothel dan dimetabolisme oleh spesies oxygen reaktif. Keseimbangan ini akan terganggu pada pasien dengan CAD. Bentuk gangguan pada produksi NO, disertai dengan stress oxidatif yang tinggi, menghasilkan berkurangnya sel endothelial akibat apoptosis. Aggregasi lebih lanjut dari disfungsi endothel berlangsung, yang akan memicu iskemik myokard pada seseorang dengan CAD. Pada seseorang yang sehat, peningkatan pelepasan NO dari endothel sebagai respon latihan olahraga terjadi akibat perubahan ekspresi NO sinthase endothellial, fosforilasi, dan pembentukannya

Dengan proses serupa, latihan olahraga telah memiliki peran yang terbukti dalam rehabilitasi kardiak pada pasien CAD, karena dapat menurunkan mortalitas dan meningkatkan perfusi myokard. Hal ini sangat berkaitan dengan koreksi latihan olahraga disfungsi endotel koroner. Pada seseorang dengan CAD, aktivitas fisik reguler mengakibatkan terjaganya keseimbangan antara produksi NO oleh NO synthase dan inaktivasi NO oleh spesies oxygen reaktif, sehingga akan meningkatkan kapasitas vaskuler pada beberapa struktur vaskuler
Karena disfungsi endotel diidentifikasi sebagai prediktor kejadian kardiovaskuler, penurunan parsial disfungsi endotel yang diperoleh dari aktivitas fisik reguler sepertinya menjadi alasan fisiologis mengapa latihan olahraga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas cardiovaskuler pada pasien CAD.

Outcome

Perawatan kardiak terkini telah sangat mengurangi mortalitas kejadian akut koroner dini sehingga latihan olahraga lebih lanjut, sebagai suatu intervensi tersendiri, tidak dapat menyebabkan penurunan bermakna pada mortalitas dan morbiditas. Akan tetapi, latihan olahraga mempunyai potensi sebagai katalis untuk mempromosikan aspek rehabilitasi lainnya, termasuk modifikasi faktor resiko melalui terapi perubahan gaya hidup dan optimalisasi dukungan psikososial. Sehingga, output dari rehabilitasi kardiak dapat meningkatkan kualitas hidup, seperti persepsi pasien mengenai perbaikan fisik, kepuasan dengan perubahan faktor resiko, penyesuaian psikososial dalam peranan interpersonal, dan potensi kemajuan pada tempat kerja menyesuaikan dengan keterampilan pasien.
Serupa dengan hal tersebut, diantara pasien lanjut usia, rehabilitasi kardiak kemungkinan dapat meningkatkan kemandirian fungsional, pencegahan disabilitas dini, dan penurunan kebutuhan perawatan. Walaupun dengan data yang terbatas, pria dan wanita yang lebih tua telah menunjukkan perbaikan pada toleransi aktivitas serupa dengan pasien yang lebih muda yang berpartisipasi program latihan yang sama. Dengan tambahan, tingkat keamanan latihan olahraga pada program rehabilitasi kardiak, seperti yang telah diteliti pada 4500 pasien, dapat diterima dan diterapkan.

Pelayanan rehabilitasi kardiak merupakan intervensi yang efektif dan aman. Pelayanan ini tidak diragukan sebagai suatu komponen penting dari penanganan kontemporer dari pasien dengan manifestasi penyakit jantung koroner dan gagl jantung.

Pemilihan Pasien

Rehabilitasi kardiak memiliki tujuan jangka panjang dan pendek yang dapat tercapai melalui latihan, edukasi, dan konseling. Pasien pada umumya dibagi menjadi

- Pasien beresiko rendah yang mengalami kejadian kardiak
- Pasien yang telah menjalani operasi bypass
- Pasien dengan angina pektoris stabil yang kronik
- Pasien yang telah melakukan transplantasi jantung
- Pasien yang telah menjalani angioplasti koroner perkutaneus
- Pasien yang belum pernah mengalami kejadian kardiak akan tetapi beresiko karena memiliki profil faktor resiko yang tidak diinginkan
- Pasien dengan gagal jantung yang stabil
- Pasien yang telah menjalani bedah kardiak non-koroner
- Pasien dengan penyakit jantung yang stabil akan tetapi memburuk akibat penyakit lain yang terjadi bersamaan

SIROSIS HEPATIS

SIROSIS HATI



Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar, dan seluruh struktur hati mengalami perubahan menjadi irregular, dan terbentuknya jaringan ikat (fibrosis) di sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. Secara fungsional sirosis hati dibagi atas 2 jenis, yang pertama adalah sirosis hati kompensata, dimana pada stadium ini belum terdapat gejala-gejala yang nyata (asimptomatis). Biasanya stadium ini ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan screening. Yang kedua adalah sirosis hati dekompensata, pada stadium ini gejala-gejala sudah sangat jelas, pasien merasa lemas, adanya asites, ikterus, dll.Pada stadium inilah pasien dibawa ke tempat pelayanan kesehatan atau ke Rumah Sakit.

I. Epidemiologi Sirosis

Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6:1, dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun, dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun.

II. Patofisiologi

Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian tersebut dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum alcohol aktif. Hati kemudian merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan pada hati. Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata menjadi sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming growth facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut

Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran dari fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama penyebab terjadinya manifestasi klinis.

III. Etiologi Sirosis

Sirosis dapat disebabkan oleh banyak keadaan, termasuk radang kronis berkepanjangan, racun, infeksi, dan penyakit jantung. Di Amerika sendiri penyebab sirosis hepatic mulai dari yang paring sering

a. Hepatitis C (26%)

b. Alcoholic Liver Disease (21%)

c. Penyebab Cryptogenik/Tidak diketahui (18%)

d. Hepatitis C + Alkohol (15%)

e. Hepatitis B (15%)

f. Lain-lain (5%)

IV. Gejala dan Tanda

Pada kasus dengan Sirosis Hati Kompensata, pasien tidak mempunyai keluhan yang terlalu berarti selain dari cepat merasa lelah dan nafsu makan yang menurun tidak begitu signifikan. Beda halnya dengan pasien pada stadium dekompensata, dimana sudah timbul banyak gejala yang membuat pasien tidak berdaya akibat hati gagal mengkompensasi akumulasi kerusakan yang dialaminya. Berikut gejala-gejala umum beserta dengan penjelasan patomekanismenya.

IV.1. Hipertensi Portal

Hati yang normal mempunyai kemampuan untuk mengakomodasi perubahan pada aliran darah portal tanpa harus meningkatkan tekanan portal. Hipertensi portal terjadi oleh adanya kombinasi dari peningkatan aliran balik vena portal dan peningkatan tahanan pada aliran darah portal.

Meningkatnya tahanan pada area sinusoidal vascular disebabkan oleh faktor tetap dan faktor dinamis. Dua per tiga dari tahanan vaskuler intrahepatis disebabkan oleh perubahan menetap pada arsitektur hati. Perubahan tersebut seperti terbentuknya nodul dan produksi kolagen yang diaktivasi oleh sel stellata. Kolagen pada akhirnya berdeposit dalam daerah perisinusoidal.

Faktor dinamis yang mempengaruhi tahanan vaskular portal adalah adanya kontraksi dari sel stellata yang berada disisi sel endothellial. Nitric oxide diproduksi oleh endotel untuk mengatur vasodilatasi dan vasokonstriksi. Pada sirosis terjadi penurunan produksi lokal dari nitric oxide sehingga menyebabkan kontraksi sel stellata sehingga terjadi vasokonstriksi dari sinusoid hepar.

Hepatic venous pressure gradient (HVPG) merupakan selisih tekanan antara vena portal dan tekanan pada vena cava inferior. HVPG normal berada pada 3-6 mm Hg. Pada tekanan diatas 8 mmHg dapat menyebabkan terjadinya asites. Dan HVPG diatas 12 mmHg dapat menyebabkan munculnya varises pada organ terdekat. Tingginya tekanan darah portal merupakan salah satu predisposisi terjadinya peningkatan resiko pada perdarahan varises utamanya pada esophagus.

IV.2. Edema dan Asites

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hati mempunyai peranan besar dalam memproduksi protein plasma yang beredar di dalam pembuluh darah, keberadaan protein plasma terutama albumin untuk menjaga tekanan onkotik yaitu dengan mejaga volume plasma dan mempertahankan tekanan koloid osmotic dari plasma. Akibat menurunnya tekanan onkotik maka cairan dari vaskuler mengalami ekstravasasi dan mengakibatkan deposit cairan yang menumpuk di perifer dan keadaan ini disebut edema.

Akibat dari berubahnya tekanan osmotic di dalam vaskuler, pasien dengan sirosis hepatis dekompensata mengalami peningkatan aliran limfatik hepatik. Akibat terjadinya penurunan onkotik dari vaskuler terjadi peningkatan tekanan sinusoidal Meningkatnya tekanan sinusoidal yang berkembang pada hipertensi portal membuat peningkatan cairan masuk kedalam perisinusoidal dan kemudian masuk ke dalam pembuluh limfe. Namun pada saat keadaan ini melampaui kemampuan dari duktus thosis dan cisterna chyli, cairan keluar ke insterstitial hati. Cairan yang berada pada kapsul hati dapat menyebrang keluar memasuki kavum peritonium dan hal inilah yang mengakibatkan asites. Karena adanya cairan pada peritoneum dapat menyebabkan infeksi spontan sehingga dapat memunculkan spontaneus bacterial peritonitis yang dapat mengancam nyawa pasien

IV.3 Hepatorenal Syndrome

Sindrome ini memperlihatkan disfungsi berlanjut dari ginjal yang diobsrevasi pada pasien dengan sirosis dan disebabkan oleh adanya vasokonstriksi dari arteri besar dan kecil ginjal dan akibat berlangsungnya perfusi ginjal yang tidak sempurna.kadar dari agen vasokonstriktor meningkat pada pasien dengan sirosis, temasuk hormon angiotensin, antidiuretik, dan norepinephrine.

IV.4. Hepatic Encephalopathy

Ada 2 teori yang menyebutkan bagaimana perjalanan sirosis heatis menjadi ensephalopathy, teori pertama menyebutkan adanya kegagalan hati memecah amino, teori kedua menyebutkan gamma aminobutiric acid (GABA) yang beredar sampai ke darah di otak.

Amonia diproduksi di saluran cerna oleh degradasi bakteri terhadap zat seperti amino, asam amino, purinm dan urea. Secara normal ammonia ini dipecah kembali menjadi urea di hati, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada penyakit hati atau porosystemic shunting, kadar ammonia pada pembuluh darah portal tidak secara efisien diubah menjadi urea. Sehingga peningkatann kadar dari ammonia ini dapat memasuki sirkulasi pembuluh darah.

Ammonia mempunyai beberapa efek neurotoksik, termasuk mengganggu transit asam amino, air, dan elektrolit ke membrane neuronal. Ammonia juga dapat mengganggu pembentukan potensial eksitatory dan inhibitory. Sehingga pada derajat yang ringan, peningkatan ammonia dapat mengganggu kosentrasi penderita, dan pada derajat yang lebih berat dapat sampai membuat pasien mengalami koma.

IV.5. Gejala-gejala lainnya

Pada pasien dengan sirosis hepatis dekompensata, sangat banyak gejala yang muncul diakibatkan hati mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan sehingga jika peranan ini terganggu maka akan banyak timbul abnormalitas dalam kehidupan seorang penderita.

Adanya proses glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati membuat seseorang tetap mempunyai cadangan energi dan energi apabila seseorang tidak makan, namun pada pasien sirosis hepatis, kedua proses ini tidak berlangsung sempurna sehingga pasien mudah lelah dan pada keadaan yang lebih berat pasien bahkan tidak dapat melakukan aktivitas ringan.

Karena hati mempunyai peranan dalam memecah obat, sehingga pada sirosis hepatis, ditemukan sensitivitas terhadap obat semakin menigkat, efek samping obat lebih menonjol dariada implikasi medisnya sehingga pada penderita sirosis hepatis, pemilihan obat harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Pada pasien sirosis juga ditemukan perdarahan spontan akibat adanya kekurangan faktor faktor pembekuan yang diproduksi di hati. Memar juga dapat terjadi akibat kekurangan faktor-faktor ini.

Perdarahan esofagus juga ditemukan karena adanya peningkatan tekanan vena portal sehingga darah memberikan jalur cadangan pada pembuluh darah sekitar untuk sampai ke jantung, maka darah melalui pembuluh darah oesofagus, karena pembuluh darah ini kecil maka gesekan akibat makanan yang normalnya tidak memberikan luka pada orang biasa membuat varises ini pecah sehingga timbul darah. Darah ini dapat saja keluar melalui muntahan darah atau juga dapat melalui tinja yang berwarna ter (hematemesis melena).

Hati juga mempunyai peranan dalam endokrin, sehingga sirosis dapat memperlihatkan manifestasi endokrin seperti pada wanita terdapat kelainan siklus menstruasi dan pada laki-laki ditemukan gynecomastia dan pembengkakan skrotum.

V. Diagnosis

Diagnosis pada penderita suspek sirosis hati dekompensata tidak begitu sulit, gabungan dari kumpulan gejala yang dialami pasien dan tanda yang diperoleh dari pemeriksaan fisis sudah cukup mengarahkan kita pada diagnosis. Namun jika dirasakan diagnosis masih belum pasti, maka USG Abdomen dan tes-tes laboratorium dapat membantu

Pada pemeriksaan fisis, kita dapat menemukan adanya pembesaran hati dan terasa keras, namun pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk memeriksa derajat asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid wave. Tanda-tanda klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider telangiekstasis (Suatu lesi vaskular ang dikelilingi vena-vena kecil), eritema palmaris (warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan), caput medusa, foetor hepatikum (bau yang khas pada penderita sirosis), dan ikterus

Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis, Fungsi hati kita dapat menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, serum albumin, prothrombin time, dan bilirubin. Serum glutamil oksaloasetat (SGOT) dan serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi dan juga tidak spesifik.

Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis.

Dari diagnosis sirosis ini kita dapat menilai derajat beratnya sirosis dengan menggunakan klasifikasi Child Pugh.

Tabel I. Klasifikasi Child Pugh

Derajat Kerusakan

Minimal

Sedang

Berat

Satuan

Bilirubin (total)

<35>

35-50

>50 (>3)

μmol/l (mg/dL)

Serum albumin

>35

30-35

<30

g/L

Nutrisi

Sempurna

Mudah dikontrol

Sulit terkontrol

-

Ascites

Nihil

Dapat terkendali dengan pengobatan

Tidak dapat terkendali

-

Hepatic encephalopathy

Nihil

minimal

Berat/koma

-

VI. Penatalaksanaan

Kebanyakan penatalaksaan ditujukan untuk meminimalisir komplikasi yang disebabkan oleh sirosis mengingat sirosis merupakan kerusakan hati yang ireversibel sehingga untuk memperbaiki struktur hati sepertinya tidak dapat dilakukan.

Pengobatan firosis hati pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa yang akan datang, menempatkan sel stellata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Interferon mempunyai aktifitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stellata bisa merupakan suatu pilihan.

Asites diterapi dengan tirah baring total dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gr atau 90mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diureitk. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1kg/hari bila edema kaki ditemukan. Bila pemberian spironolaktine belum adequat maka bisa dikombinasi dengan furosemide dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasintesis dilakukan jika jumlah asites sangat besar.

Pada pasien dengan adanya ensefalopati hepatik dapat digunakan laktulosa untuk mengeluarkan amonia dan neomisin dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri usus penghasil amonia.

Untuk perdarahan esofagus pada sebelum dan sesudah berdarah dapat diberikan propanolol. Waktu pendarahan akut, dapat diberikan preparat somatostatin atau okreotid dan dapat diteruskan dengan tindakan ligasi endoskopi atau skleroterapi.

VII. Prognosis

Prognosis sirosis hati sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyait lain yang menyertai. Klasifikasi Child Pugh, juga dapat digunakan untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi.

Referensi

1. Ali Sulaiman, dkk. Gastroenterologi Hepatologi. Sagung Seto. 1997

2. Aru Sudoyo. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI. Jakarta. Juli 2006

3. David,C.Wolff MD. Cirrhosis. http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm. 2007

4. Jeffrey A Gunter, MD. Cirrhosis. http://www.emedicinehealth.com/cirrhosis/article_em.htm#Cirrhosis%20Overview. 2005

5. Rodney Rhoades, George Tanner. Medical Physiology. Lippincott Williams & Wilkins. 2003


GANGGUAN EREKSI

DISFUNGSI EREKSI

Original Article “Erectile Dysfunction” from Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th ed. Translated by Husnul Mubarak,S.Ked


EPIDEMIOLOGI

Disfungsi Ereksi (DE) tidak dianggap sebagai bagian normal dari penuaan. Namun, ini berkaitan dengan perubahan fisiologis dan psikologis berkaitan dengan umur. Pada survey komunitas yang diadakan oleh Massachusetts Male Aging Study (MMAS) pada laki-laki dengan rentang umur 40 – 70 tahun, 52% responder dilaporkan memiliki beberapa derajat DE. DE sempurna terjadi pada 10% responder. DE moderat terjadi pada 25% dan DE minimal pada 17% responder. Insiden DE moderat dan berat meningkat dua kali lipat pada umur 40 dan 70. Pada National Health and Social Life Survey (NHSLS), dimana menjadi sampel nasional mewakili populasi pria umur 18-59 tahun, 10% pria dilaporkan tidak dapat menjaga ereksi (serupa dengan proporsi pria dengan DE sempurna pada survey MMAS). Insiden tertinggi adalah pria dengan umur 50-59 tahun (21%) dan pria miskin (14%), perceraian (14%) dan kurang pendidikan (13%)...

Insiden terjadinya DE juga meningkat pada pria dengan keadaan medis tertentu seperti DM, obesitas, gejala saluran kemih bagian bawah akibat benign prostatic hyperplasia (BPH), penyakit jantung, hypertensi, dan penurunan kadar HDL. Merokok merupakan faktor resiko bermakna untuk perkembangan DE. Pengobatan untuk DM dan penyakit jantung merupakan faktor resiko penambah. Terdapat peningkatan resiko DE pada pria yang telah menjalani radiasi atau operasi kanker prostate dan pada mereka dengan cedera medulla spinalis bagian bawah. Penyebab psikologis DE adalah depresi, kemarahan, atau stress akibat kehilangan pekerjaan atau penyebab lainnya.

PATOFISIOLOGI

DE dapat disebabkan dari tiga mekanisme dasar ini: (1) kegagalan menginisiasi (psikogenik, endokrinologik, atau neurogenic); (2) kegagalan pengisian (arteriogenik); atau (3) kegagalan untuk menyimpan volume darah yang adekuat didalam jaringan lacunar (disfungsi venooklusif). Kategori ini dapat terjadi secara bersamaan. Sebagai contoh, mengurangnya tekanan pengisian (filling pressure) dapat menyebabkan adanya kerusakan venous. Faktor psikogenik seringkali terjadi bersama dengan faktor etiologi lainnya. Diabetes, atherosclerosis, dan penyebab akibat obat terhitung pada 80% kasus DE pada pria dewasa.

Vaskulogenik

Penyebab organic paling sering untuk DE adalah gangguan aliran darah ked an dari penis. Atherosclerosis atau penyakit arterial traumatic dapat menurunkan aliran ke ruang lacunar, menyebabkan menurunnya rigiditas dan memanjangnya waktu untuk ereksi penuh. Aliran yang berlebihan pada vena, walaupun adekuat jumlahnya, dapat menyebabkan DE. Perubahan structural pada komponen fibroelastik pada corpora dapat menyebabkan berkurangnya komplians dan ketidakmampuan untuk menyempitkan vena pada.

Neurogenic

Gangguan yang mengenai medulla spinalis bagian sacral atau jaras saraf otonom menuju penis dapat mencegah terjadinya aktivitas sistem relaksasi saraf pada otot halus penis, sehingga hal ini mengakibatkan DE. Pada pasien dengan cedera medulla spinalis, derajat dari DE bergantung pada tingkat kerusakan dan lokasi lesi. Pasien dengan lesi parsial atau cedera pada bagian atas dari medulla spinalis cenderung masih memiliki kemampuan ereksi dibandingkan seseorang yang memiliki lesi sempurna atau terdapat pada bagian bawah medulla spinalis. Walaupun sekitar 75% pasien dengan cedera medulla spinalis memiliki kemampuan untuk ereksi, hanya 25% dari jumlah tersebut yang memiliki ereksi yang cukup untuk penetrasi. Gangguan neurologist lainnya yang umumnya berkaitan dengan DE termasuk multiple sclerosis atau neuropati perifer. Yang terakhir disebabkan oleh diabetes atau alkoholisme. Operasi pelvis juga dapat menyebabkan DE akibat terganggunya suplai saraf otonom.

Endokrinologik

Androgen meningkatkan libido, namun peran pastinya terhadap fungsi ereksi masih tetap belum jelas. Seseorang dengan kadar testosterone yang rendah dapat mencapai ereksi dari stimulus visual atau seksual. Namun, kadar testosteron normal sepertinya penting untuk fungsi ereksi, terutama pada pria tua. Terapi alih androgen dapat memperbaiki fungsi ereksi yang menurun jika diakibatkan hypogonadism; namun, terapi ini tidak bermanfaat pada DE jika kadar testosterone masih normal. Peningkatan hormon prolactin dapat menurunkan libido dengan menekan hormone gonadotropin-releasing hormone (GnRH), dan juga dapat menurunkan kadar testosterone. Terapi untuk hiperprolaktinemia dapat menggunakan agonis dopamine yang dapat mengembalikan libido dan testosterone.

Diabetes

DE terjadi pada 35-75% pria dengan diabetes mellitus. Mekanisme patologis utamanya berkaitan dengan komplikasi vaskuler dan neurologik DM. Komplikasi makrovaskuler diabetes biasanya berkaitan dengan umur, dimana komplikasi mikrovaskuler berhubungan dengan durasi lamanya diabetes dan derajat pengendalian glikemia. Seseorang dengan diabetes juga memiliki penuruna nitric oxide synthase pada jaringan endotel dan neural.

Psikogenik

Dua mekanisme yang berkontribusi terhadap inhibisi ereksi pada DE psikogenik. Pertama, stimulus psikogenik pada sacral medulla spinalis dapat menghambat respon reflexogenik, akibatnya menghambat aktivasi aliran vasodilator menuju penis. Kedua, stimulasi simpatis berlebihan pada pria cemas dapat meningkatkan tonus otot halus penis. Penyebab paling umum dari DE psikogenik adalah kecemasan, depresi, konflik suatu hubungan, kehilangan rasa memikat, hambatan seksual, konflik dengan partner sex, pelecehan sexual pada masa kecil, dan ketakutan akan penyakit menular sexual. Kebanyakan pasien dengan DE yang sudah jelas memiliki dasar penyebab organic, dapat terkena efek psikologis sebagai reaksi terhadap DE, sehingga memberikan beban ganda.

Akibat Pengobatan

DE yang disebabkan oleh obat diperkirakan terjadi pada 25% pria yang ditemukan pada klinik rawat jalan. Diantara agen antihipertensi, diureik thiazida dan beta blocker yang paling sering menjadi penyebab. Calcium channel blocker dan ACE inhibitor lebih jarang dilaporkan. Obat-obat ini dapat bekerja secara langsung pada tingkat corporal (mis. Ca channel blocker) atau secara tidak langsung dengan menurunkan tekanan darah pada pelvis, dimana penting untuk mempertahankan kontraksi penis. Adrenergik blocker jarang menjadi penyebab DE. Estrogen, agonis GnRH, H2 antagonis, dan spironolactone menyebabkan ED dengan menekan produksi gonadotropin atau dengan menghambat kerja androgen. Agen antidepresi dan antipsikosis – terutama neuroleptik, tricyclic, dan SSRI – berhubungan dengan kesulitan dalam ereksi, ejakulasi, orgasme, atau kepuasan seksual lainnya.

Daftar obat yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi

Classification

Drugs

Diuretics

Thiazides, Spironolactone

Antihypertensives

Calcium channel blockers, Methyldopa
Clonidine, Reserpine, Beta-Blockers
Guanethidine

Cardiac/anti-hyperlipidemics

Digoxin, Gemfibrozil, Clofibrate

Antidepressants

Selective serotonin reuptake inhibitors
Tricyclic antidepressants, Lithium
Monoamine oxidase inhibitors

Tranquilizers

Butyrophenones, Phenothiazines

H2 antagonists

Ranitidine, Cimetidine

Hormones

Progesterone, Estrogens, Corticosteroids
GnRH agonists, 5-Reductase inhibitors
Cyproterone acetate

Cytotoxic agents

Cyclophosphamide, Methotrexate
Roferon-A

Anticholinergics

Disopyramide, Anticonvulsants

Recreational

Ethanol, Cocaine,Marijuana

Walaupun banyak pengobatan yang menyebabkan DE, pasien sering memiliki faktor resiko sebelumnya yang membingungkan gambaran klinis. Jika terdapat hubunfan kuat antara pemberian obat dan onset DE, pengobatan lain sebaiknya dipertimbangkan. Namun umum dilakukan di klinik untuk menambah pengobatan DE tanpa melakukan perubahan banyak pada pengobatan suatu penyakit, karena mungkin sulit untuk menegakkan peran kausal dari suatu obat terhadap DE.

Pendekatan Pada Pasien Disfungsi Ereksi.

Hubungan dokter-pasien yang baik membantu untuk mendapatkan kemungkinan penyebab DE, dimana banyak membutuhkan diskusi masalah privasi dan biasanya topic yang memalukan. Riwayat medis dan seksual lengkap sebaiknya didapatkan sebagai usaha untuk menilai apakah DE karena sebab organic, psikogenik, atau multifactor. Pertanyaan pertama sebaiknya memusatkan perhatian pada onset gejala, adanya dan lamanya ereksi jika masih bisa terjadi, dan perkembangan dari DE. Riwayat ereksi nocturnal atau pagi hari berguna untuk membedakan fisiogik dari psikogenik. Ereksi malam hari yang terjadi selama tidur REM (Rapid Eye Movement) membutuhkan sistem neurologist dan sirkulasi yang utuh. Penyebab DE organik biasanya ditandai dengan adanya perubahan perlahan dan menetap dalam ketegangan atau ketidakmampuan untuk mempertahankan ereksi nocturnal, coital (pada saat coitus), atau ereksi diprovokasi sendiri. Pasien sebaiknya ditanyai mengenai adanya pembengkokan penis atau nyeri pada saat koitus. Penting juga untuk menanyakan tentang libido, karena penurunan hasrat sex dan DE merupakan tanda awal dari abnormalitas endokrin (misal. peningkatan prolaktin, penurunan kadar testosterone). Tanyakan juga apakah masalahnya terjadi terbatas hanya pada satu partner sexual karena DE tidak jarang terjadi berkaitan dengan adanya hubungan partner sex baru diluar pernikahan. DE situasional yang berlawanan dengan DE konsisten, menandakan adanya faktor psikogenik. Ejakulasi lebih jarang terlibat daripada ereksi, namun sebaiknya ditanyakan apakah ejakulasi normal, dini, tertunda, atau tidak ada. Faktor resiko relevan sebaiknya diidentifikasi seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner (PJK), dan gangguan neurologis. Riwayat operasi pada pasien sebaiknya dieksplorasi dengan menekankan pada prosedur bedah pada usus, saluran kemih, prostat, atau prosedur vaskulatur. Riwayat pengobatan lengkap juga penting digali. Perubahan sosial yang dapat memicu DE juga krusial dalam pemeriksaan, termasuk kekhawatiran akan kesehatan, kematian pasangan hidup, perceraian, pertengkaran rumah tangga, dan permasalahan financial.

Gambar I. Skema hubungan dokter-pasien DE

Karena DE sering melibatkan faktor resiko sel endothelial, pria dengan DE dilaporkan memiliki insiden yang lebih tinggi terkena myocardial infark silent atau terselubung. Karenanya, pria DE tanpa gejala penyakit jantung tetap juga dicurigai memiliki gangguan vaskuler termasuk PJK.

Pemeriksaan fisis merupakan elemen yang penting dalam penilaian DE. Tanda hipertensi begitu pula dengan penyakit tiroid, hati, hematology, kardiovaskuler, atau ginjal sebaiknya dicari. Pemeriksaan sebaiknya melibatkan sistem endokrin-vaskuler, genital, dan kelenjar prostate. Penis sebaiknya dipalpasi dengan seksama di sepanjang korpora untuk mendeteksi adanya plak fibrotik. Berkurangnya ukuran testis dan hilangnya tanda seksual sekunder merupakan tanda dari hipogonadisme. Pemeriksaan neurologist sebaiknya mengikutkan penilaian tonus sphincter ani, refleks bulbocavernosus, dan memeriksa adanya neuropati perifer.

Walaupun hyperprolactinemia jarang terjadi, kadar prolaktin sebaiknya diperiksa karena penurunan libido dan/atau disfungsi ereksi merupakan gejala prolaktinoma atau lesi massa lain pada sella. Kadar testosterone serum sebaiknya diukur dan, jika rendah, gonadotropin sebaiknya diukur juga untuk menentukan apakah hipogonadisme primer atau sekunder (berasal dari hipotalamus-talamus). Jika sudah lama tidak dilakukan, pemeriksaan kimia darah, darah rutin, dan profil lipid dapat bernilai, karena dapat mengumpulkan informasi adanya anemia, diabetes, dan penyakit sistem lainnya yang berkaitan dengan DE. Penentuan prostate specific antigen (PSA) pada serum sebaiknya dilakukan berdasarkan panduan klinis kelainan prostate.

Pemeriksaan penunjang jarang dibutuhkan pada pemeriksaan DE. Namun, pada beberapa pasien tertentu, pemeriksaan khusus dapat memberikan panduan terhadap mekanisme patologis pada DE dan membantu pemilihan opsi terapi. Pemeriksaan penunjang khusus termasuk (1) Pemeriksaan pembesaran penis nocturnal dan ketegangannya, (2) Pemeriksaan vaskuler (injeksi zat vasoaktif, USG Doppler pada penis, angiography penis, infuse cavernosography dinamis/cavernosometri), (3) Pemeriksaan neurologist ( persepsi getaran biothesiometry, somatosensorik); dan (4) Pemeriksaan psikologis diagnostic. Pemeriksaan ini pasti seimbang antara biaya dan dalamnya informasi yang potensial didapatkan.

Disfungsi Seks Pria : Terapi

Edukasi Pasien

Memberikan edukasi pada pasien dan partnernya penting dalam menangani DE. Dalam terapi sukses, edukasi dapat memfasilitasi pemahaman mengenai penyakit, hasil pemeriksaan, dan pemilihan terapi. Diskusi pilihan terapi membantu mengklarifikasi pada keadaan apa suatu terapi diberikan dan menyusun terapi lini kedua dan pertama. Pasien dengan permasalahan pola hidup beresiko tinggi, seperti merokok, penyalahgunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, sebaiknya dikonsul bahwa faktor ini dapat berperan dalam perkembangan DE.

Obat Oral

Sildenafil (Viagra), tadalafil (Cialis), dan vardenifil (Levitra) merupakan agen oral efektif dan yang diakui untuk pengobatan DE. Ketiga pengobatan ini telah berkembang secara signifikan dalam pengobatan DE karena mereka efektif untuk menangani secara luas dari penyebabnya, termasuk psikogenik, diabetic, vasculogenik, postradical prostatektomi, dan cedera medulla spinalis. Mereka termasuk golongan pengobatan yang selektif dan penghambat potensial PDE-5, phosphodiesterase isoform yang dominant ditemukan pada penis. Obat ini diberikan dalam dosis yang gradual dan memperbaiki ereksi setelah stimulasi seksual. Onset aksi ini berlangsung sekitar 60 – 120 menit, tergantung dari pengobatan yang digunakan dan faktor lain yang berpengaruh seperti pola makan terakhir. Dosis inisial yang kurang diberikan pada pasien lanjut usia, sedang menjalani pengobatan alpha blocker, memiliki insufisiensi renal, atau yang dalam pengobatan yang menhambat jalur metabolisme CYP3A4 pada hati (misal., erythromycin, cimetidine, ketoconazole, dan, kemungkinan, itraconazole dan mibefradil), karena mereka dapat meningkatkan konsentrasi PDE-5 inhibitor atau menyebabkan hipotensi. Suplemen testosterone dikombinasikan dengan PDE-5 inhibitor dapat bermanfaat dalam memperbaiki fungsi ereksi pada pria hipogonad dengan DE yang tidak berespon dengan PDE-5 inhibtor saja. Obat ini tidak mempengaruhi ejakulasi, orgasme, atau hasrta seksual. Efek samping yang berhubungan dengan PDE-5 yaitu sakit kepala (19%), wajah merah merona/flushing (9%), dyspepsia (6%) dan kongesti nasal (4%). Sekitar 7% pria yang mengkonsumsi sildanefil dapat mengalami perubahan penglihatan warna transient (blue halo effect), sementara 5% pria yang mengkonsumsi tadalafil mengalami nyeri pada penis. Kontraindikasi PDE-5 inhibitors adalah terapi nitrat (yang diberikan lewat oral, siblingual, atau topical) pada pasien penyakit jantung. Agen ini dapat mengeluarkan efek hipotensinya dan dapat menyebabkan shock yang sangat serius. Begitupula pada amyl/butyl nitrat memiliki sinergestik fatal pada efeknya terhadap tekanan darah. PDE-5 inhibitors sebaiknya dihindari pada pasien dengan gagal jantung kongestif dan cardiomyopati karena adanya resiko kolaps vaskuler. Karena aktivitas seksual dapat meningkatkan penggunaan kalori fisiologis [5–6 metabolic equivalents (METS)], dokter dianjurkan untuk memberikan peringatan terhadap pemakaian obat untuk aktivitas seksual pada pasien dengan penyakit koroner, gagal jantung, hypotensi borderline, dan hypovolemia, dan pemakian regimen antihypertensive..

Walaupun diantara 3 PDE-5 inhibitors memiliki mekanisme yang sama, terdapat sedikit perbedaan diantara 3 agen ini. Telah lama tersedia di pasaran, sildenafil memiliki banyak data yang menyatakan aktivitas, keamanan, dan toleransinya. Obat ini baru-baru saja digunakan untuk hipertensi pulmoner. Tadalafil mempunyai keunikan dalam waktu panjang yang lama. Semua tiga jenis obat ini efektif untuk pasien DE dengan umur, keparahan, dan penyebab apapun. Walaupun terdapat perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik diantara obat ini, perbedaan klinis yang relevan tidak jelas.

Gambar II. Viagra, pil biru "sakti" yang mengandung sildenafil

Terapi Androgen

Terapi penggantian hormon testosterone digunakan untuk mengatasi penyebab primer dan sekunder hipogonadisme. Suplemen androgen pada keadaan testosterone yang normal tidak efektif dan tidak dianjurkan. Metode dari terapi ini yaitu dengan plaster (patch) dan gel transdermal, pemberian parenteral dari testosterone ester long-acting (enenthate dan cypionate), dan sediaan oral (17 -alkylated derivatives). Pemberian testosterone transdermal menggunakan patch atau gel (50-100mg/d) lebih mendekati kadar testosterone fisiologik. Pemberian 200-300mg intramuskuler setiap 2-3 minggu memberikan pilihan lain namun jauh ideal daripada terapi penggantian fisiologis. Sediaan androgen oral memiliki potensi hepatotoxic dan sebaiknya dihindari. Pria dengan kanker yang sensitive dengan androgen (mis. Kanker prostat) merupakan kontraindikasi untuk terapi testosterone dan tidak cocok juga diberikan pada pasien dengan obstruksi kantung kemiih (buli-buli). Dianjurkan untuk mengukur kadar PSA sebelum melakukan terapi testosteron. Fungsi hati sebaiknya diperiksa sebelum dan selama terapi testosterone berjalan.

Vacuum Constriction Devices

Vacuum constriction devices (VCD) merupakan peralatan terapi noninvasine yang tersedia. Alat ini merupakan pilihaan terapi untuk pasien yang tidak mau mengkonsumsi sildenafil atau tidak menginginkan intervensi lainnya. VCD mengalirkan darah vena menuju ke penis dan menggunakan semacam cincin penjepit untuk menahan aliran darah balik sehingga mempertahankan ereksi. Efek samping pemakaian VCD adalamah nyeri, kesemutan, memar, dan gangguan ejakulasi. Sebagai tambahan, kebanyakan pasien mengeluhkan alat ini sulit digunakan dan ereksi yang ditimbulkan memiliki penampakan dan rasa yang tidak fisiologis.

Gambar III. Contoh alat VSD yang tersedia

Alprostadil Intraurethral

Jika pasien gagal berespon terhadap terapi oral, pilihan berikutnya adalah intrauteral atau injeksi zat vasoaktif. Prostaglandin E1 intraurethral, dalam bentuk butir semisolid (dosis 125 – 1000 g), diberikan melalui sebuah aplikator. Sekitar 65% pria yang melakukan alprostadil intraurethra berespon dengan ereksi jika dilakukan di klinik, namun hanya 50% dari mereka yang berhasil melakukan coitus dirumah. Insersi intraurethral berkaitan dengan penurunan insiden priapismus dibandingkan injeksi intracavernosal.

Injeksi Intracavernosal

Injeksi formula sinteti alprostadil efektif pada 70-80% pasien DE, namun penghentian pemakaian selalu terjadi karena sifat yang invasive pada pemberiannya. Rentang dosisnya antara 1 dan 40 g. Terapi injeksi ini dikontraindikasikan untuk pria dengan riwayat hipersensitivitas terhadap obat tersebut dan pria yang beresiko priaprismus (keadaan hypercoagulable, penyakit sickle cell). Efek samping termasuk efek lokal seperti, ereksi berkepanjangan, nyeri, dan jaringan parut pada pemakaian lama. Kombinasi beragam alprostadil, phentolamine, dan/atau papaverine seringkali digunakan pula.

Operasi

Bentuk terapi yang lebih jarang digunakan untuk DE adalah operasi implantasi prosthesis penis semirigid atau yang dapat mengembang. Terapi pembedahan ini bersifat invasif dan memiliki banyak komplikasi. Biasanya diberikan pada pasien DE yang refrakter. Walaupun harga yang sangat mahal dan invasif, prostheses penis memiliki angka kepuasan pasien dan partner sexnya yang tinggi.

Gambar IV. Prosthesis penis yang ditanam didalam penis

Terapi Sex

Suatu pelatihan terapi sex dapat berguna untuk memperbaiki faktor interpersonal yang mungkin mempengaruhi fungsi sexual. Terapi sex biasanya mencakup diskusi dan latihan tertentu untuk pasien dan pasangannya. Terapi ini lebih baik dilakukan bersama dengan pasangan, jika pasien memiliki hubungan yang intim.

GAGAL GINJAL

GAGAL GINJAL AKUT
(Acute Renal Failure – Alih Bahasa, Harrison Principle of Internal Medicine 16th Edition)


Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom yang ditandai oleh adanya penurunan drastic pada glomerular filtration rate (jam sampai hari), retensi limbah metabolisme nitrogen, dan gangguan volume ekstraseluler dan homeostasis asam-basa. Persentasi GGA di rawat inap yaitu 5% dan 30% pada ICU. Oliguria (output urin < style=""> dibagi atas 3 kategori.

(1). Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi pada ginjal tanpa kerusakan integritas dari parenkim ginjal (GGA prerenal, prerenal azotemia) (~55%);

(2) Penyakit yang secara langsung melibatkan parenkim renal (GGA renal, renal azotemia) (~40%); dan

(3) Penyakit yang berhubungan dengan sumbatan pada saluran kemih (GGA postrenal, postrenal azotemia) (~5%).

Kebanyakan GGA reversible, ginjal termasuk organ yang relatif unik diantara organ yang lain dalam kemampuannya untuk sembuh dari fungsi yang menurun.Namun, GGA tetap juga merupakan morbiditas dan mortalitas utama dalam rumah sakit akibat beratnya penyakit penyebab GGA tersebut .

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

GGA PRERENAL (PRERENAL AZOTEMIA

GGA prerenal adalah bentuk paling sering dari GGA dan memberikan respon fisiologik berupa hipoperfusi renal ringan sampai sedang. GGA prerenal dapat reversible dengan cepat melalui restorasi aliran darah ginjal dan tekanan ultrafiltasi glomerulus. Jaringan parenkim ginjal tidaklah rusak; dengan demikian, ginjal dari individu dengan GGA prerenal berfungsi baik ketika dicangkok ke dalam para penerima dengan fungsi kardiovasculer yang normal. Hypoperfusion yang lebih berat dapat menyebabkan trauma iskemik dari parenkim ginjal dan Renal GGA ( lihat di bawah). Jadi, GGA prerenal dan GGA renal akibat ischemia menjadi bagian dari suatu spektrum hypoperfusion ginjal. GGA Prerenal dapat mempersulit penyakit apapun yang mempengaruhi hypovolemia, berhubungan dengan cardiac output yang rendah, vasodilatasi sistemik, atau vasokonstriksi selektif intrarenal.

Hypovolemia akan menyebabkan penurunan tekanan arterial sistemik, dimana dideteksi sebagai berkurangnya regangan arterial dan cardiac baroreseptor. Baroreceptor yang aktif memicu suatu respon neurohormonal yang dirancang untuk mengembalikan volume darah dan tekanan arterial. Ini meliputi pengaktifan dari sistem simpatik renin-angiotensin-aldosterone dan pelepasan arginine vasopressin (AVP; dahulu dikatakan sebagai Antidiuretik Hormone). Norepinephrine, angiotensin II, dan AVP berkolaborasi dalam usaha untuk menjaga perfusi otak dan jantung dengan merangsang vasokonstriksi pada sirkuit vaskuler "nonesensial", seperti musculocutaneous dan peredaran splanchnic, mencegah pelepasan natrium yang menghambat melalui keringat, merangsang haus, dan dengan memicu retensi natrium dan air. Perfusi glomerulus, tekanan ultrafiltrasi, dan tingkat filtrasi selama hypoperfusion yang ringan dijaga melalui beberapa mekanisme kompensasi. Reseptor regangan dalam arteriol afferent, sebagai respon atas suatu pengurangan tekanan perfusion, mencetuskan vasodilatasi arteriol afferent melalui suatu refleks myogenik lokal ( autoregulasi). Biosynthesis dari vasodilator prostaglandins ( e.g., prostaglandin E2 dan prostacyclin) juga ditingkatkan, dan campuran ini cenderung melebarkan arteriol aferen. Sebagai tambahan, angiotensin II cenderung menyebabkan vasokonstriksi arteriol eferen. Sebagai hasilnya, tekanan intraglomerular terjaga, fraksi plasma yang mengalir melalui kapiler glomerular yang tersaring akan ditingkatkan ( fraksi filtrasi), dan glomerular filtration rate (GFR) dipertahankan. Pada keadaan hypoperfusion yang lebih berat, respon kompensasi ini dapat gagal dan GFR menurun, dan mengarah kepada GGA prerenal

Autoregulasi dari dilatasi arteriol afferent maksimal pada tekanan arterial sistemik setinggi ~ 80 mmHg, dan hipotensi di bawah angka ini berhubungan dengan suatu kemunduran yang drastis dari GFR. Derajat hipotensi yang lebih rendah dapat menimbulkan GGA prerenal pada orang tua dan pada pasien dengan penyakit yang mempengaruhi integritas arteriol afferent (misal, hypertensive nephrosclerosis, vasculopathy diabetik). Sebagai tambahan, obat yang mempengaruhi respon adaptif pada microsirkulasi ginjal dapat merubah hypoperfusion ginjal terkompensasi menjadi GGA prerenal yang jelas atau memicu GGA prerenal menjadi GGA ischemic intrarenal. Obat-obat inhibitor dari baik biosintesis renal prostaglandin [ penghambat cyclooxygenase ; nonsteroidal antiinflamation drugs( NSAIDS)] atau inhibitor angiotensin-converting enzim (ACE Inhibitor) dan reseptor angiotensin II blockers adalah penyebab yang utama dan harus digunakan secara hati-hati pada keadaan yang dicurigai dapat terjadi hipoperfusi ginjal. NSAIDS tidak mempengaruhi GFR pada individu yang sehat tetapi dapat mempercepat GGA prerenal pada pasien dengan penurunan volume cairan atau pada insufisiensi renal kronis dimana GFR terjaga oleh hiperfiltrasi yang dimediasi prostaglandin oleh nefron fungsional yang terisa. penghambat ACE harus digunakan dengan bijaksana pada pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral atau stenosis unilateral dimana hanya satu ginjal yang berfungsi. Pada keadaan ini, perfusi dan filtrasi glomerular sangat dipengaruhi oleh angiotensin II. Angiotensin II memelihara tekanan filtrasi glomerular distal ke stenosis dengan peningkatan tekanan arterial systemic dan dengan mencetuskan konstriksi selektif pada arteriol. Penghambat ACE dapat memperlambat respon ini dan mempercepat GGA, namun umumnya reversibel, pada ~30% kasus.

Hepatorenal Syndrome ini adalah suatu bentuk agresif dari GGA, dengan banyak bentuk dari GGA prerenal, yang sering mempersulit kegagalan hepatik akibat cirrhosis atau penyakit hati berat lainnya, mencakup keganasan, reseksi hepatik, dan obstruksi bilier. Pada sindrom hepatorenal yang berat, GGA berkembang walaupun telah terjadi optimisasi hemodinamika sistemik dan memiliki tingkat kematian sebesar >90%.

GGA INTRINSIC RENAL (INTRINSIC RENAL AZOTEMIA)

GGA renal dapat mempersulit beragam penyakit berbeda pada parenkim ginjal itu sendiri. Dari sudut pandang klinikopathologis, dapat berguna untuk membagi penyebab GGA renal ke dalam (1) penyakit dari pembuluh darah besar ginjal, (2) penyakit dari mikrosirkulas ginjal dan glomeruli, (3) GGA ischemic dan akibat nephrotoxic, dan (4) radang tubulointerstitial. GGA renal paling sering dicetuskan oleh ischemia ( GGA yang ischemic) atau nephrotoxins ( GGA yang nephrotoxic), yang secara sederhana menimbulkan acute tubular necrosis ( ATN). Maka, pada umumnya penggunaan istilah GGA dan ATN dapat dipertukarkan pada keadaan seperti ini. Bagaimanapun, sebanyak 20 sampai 30% dari pasien dengan GGA ischemic atau nephrotoxic tidak mempunyai tanda klinis atau bukti morphologis dari nekrosis tubuler, menggarisbawahi peran dari trauma sublethal pada epithelium tubuler dan kerusakan lain pada sel ginjal yang lain ( misal,sel endothelial ) pada pathophysiology dari sindrom ini.

Etiologi and Pathophysiologi GGA iskemik .

GGA prerenal dan GGA iskemik menjadi bagian dari spektrum bentuk hipoperfusi ginjal. GGA iskemik berbeda dengan GGA prerenal dalam arti bahwa hipoperfusi memicu trauma ischemic pada sel parenkim ginjal, terutama epithelium tubuler, dan penyembuhan biasanya memerlukan 1 sampai 2 minggu setelah normalisasi perfusi ginjal sebagaimana diperlukan regenerasi dan perbaikan sel ginjal. Dalam bentuk paling ekstrim nya, ischemia mengarah kepada bilateral nekrosis korteks renal dan gagal ginjal irreversibel. GGA iskemik terjadi paling sering pada pasien yang menjalani operasi kardiovasculer besar atau menderita trauma yang berat, perdarahan, sepsis, dan/atau kekurangan cairan tubuh. GGA iskemik dapat juga mempersulit bentuk ringan hypovolemia yang nyata atau penurunan efektifitas volume arterial darah jika terjadi bersamaan dengan trauma lainnya (misal, nephrotoxins atau sepsis) atau pada pasien dengan mekanisme pertahanan autoregulator yang menurun atau dengan riwayat penyakit ginjal sebelumnya.

Keadaan GGA iskemik ditandai oleh tiga fase: inisiasi, pemeliharaan, dan tahap penyembuhan. Tahap inisiasi ( jam sampai hari) adalah periode awal dari hipoperfusi ginjal terjadi selama trauma iskemik sedang berkembang. GFR merosot sebab (1) tekanan ultrafiltrasi glomerular dikurangi sebagai konsekwensi dari rendahnya aliran darah ginjal, (2) aliran saringan glomerulus di dalam tubulus dihalangi oleh serpihan-serpihan yang terdiri atas sel epithelial dan bekas limbah nekrotik yang berasal dari tubulus dan epithelium, dan adanya kebocoran filtrasi glomerular melalui luka epithelium tubuler. Trauma iskemik adalah paling sering pada bagian terminal meduler dari proximal tubule ( Segmen S3, pars recta) dan bagian meduler dari ascending loop of Henle. Kedua segmen mempunyai tingkat transpor aktif larutan dan konsumsi oksigen yang tinggi dan terletak pada area ginjal yang rentan ischemic, meski dalam kondisi-kondisi basal, oleh pengaturan aliran balik yang unik pada vasculatur meduler. Iskemik seluler mengakibatkan satu rangkaian perubahan transpor ion dan integritas membran yang pada akhirnya mengarah pada trauma sel dan, jika berat dapat menyebabkan apoptosis dan nekrosis sel

Perubahan ini meliputi penghabisan ATP, inhibisi pengangkutan sodium aktif dan transpor larutan lainnya, kerusakan dari regulasi sel dan pembengkakan sel, gangguan cytoskeletal dan hilangnya polaritas sel, pemasangan matriks-sel dan sel-sel, akumulasi kalsium intracellular, perubahan metabolisme phospholipid, pembentukan radikal oksigen bebas, dan peroxidasi membran lipids. Sangat penting trauma ginjal dapat diatasi dengan pengembalian alirah darah ginjal selama periode ini.

Tahap inisiasi dilanjutkan oleh suatu tahap pemeliharaan ( biasanya 1 sampai 2 minggu). selama sel ginjal yang trauma dibentuk kembali, GFR menstabilkan pada titik terendah nya (umumnya 5 sampai 10 mL/min), keluaran urin paling rendah, dan komplikasi uremik muncul. Alasan mengapa GFR tetap rendah selama tahap ini walaupun dengan koreksi dari hemodinamika sistemik belum dapat dijelaskan. Mekanisme yang dipercayai meliputi vasoconstriction intrarenal persisten dan ischemia meduler dicetuskan oleh pelepasan mediator vasoaktif yang tidak teregulasi akibat kerusakan sel endothelial ( e.g., penurunan nitritoxide, peningkatan endothelin-1, adenosine, dan platelet-activating factor), kongesti pembuluh darah meduller, dan trauma reperfusion yang dipicu oleh sejenis oksigen reaktif dan mediator lain yang berasal dari leukocytes atau sel parenkim ginjal. Sebagai tambahan, sel epithelial yang cedera per se dapat berperan dalam vasokonstriksi persiten melalui suatu proses yang disebut umpan balik tubuloglomerulal. Sel epitel khusus pada daerah macula densa pada tubulus distal mendeteksi peningkatan transport natrium yang terjadi sebagai konsekuensi dari kerusakan reabsorbsi dari segmen proximal nefron. Sel macula densa kemudian merangsang konstriksi dari arteriol aferen sekitar dengan mekanisme yang kurang dimengerti dan kemudian mengurangi perfusi glomerular dan filtrasinya, sehingga memperparah keadaan. Fase penyembuhan ditandai dengan perbaikan dan regenerasi dari sel parenkim ginjal, terutama sel epitel tubuler dan secara perlahan GFR menjadi normal atau kembali pada kadar premorbid. Fase penyembuhan ini dapat dipersulit oleh adanya peningkatan fase diuretik akibat eksresi dari natrium , air, dan larutan lain yang tadinya tertahan, penggunaan lanjut dari diuretic, atau terlambatnya fungsi sel epitel (untuk reabsorbsi larutan dan air)

Patofisiologi dan Etiologi GGA Nephrotoksik

GGA renal intrinsic akut dapat terjadi akibat paparan berbagai agen farmakologik. Paling banyak yaitu nephrotoxins, insiden GGA meningkat pada lanjut usia dan pasien dengan insufisiensi ginjal kronis, hypovolemia nyata atau papararan terhadap toxin yang lain

Vasokonstriksi intrarenal merupakan kejadian awal pada GGA yang dipicu oleh radiocontrast, siklosporin, dan tacrolimus. Sehubungan dengan patofisiologi ini, agen tersebut memicu GGA yang memiliki kemiripan dengan GGA prerenal: yaitu penurunan akut dari aliran darah ginjal dan GFR­2, sedimen urin yang relatif ringan, dan eksresi natrium yang rendah. Kasus berat dapat memperlihatkan bukti klinis atau patologik dari adanya ATN(3). Nefropati toksik akibat zat kontras umumnya memperlihatkan peningkatan akut (onset 24-48 jam) dari BUN dan kreatinin namun reversibel (resolusi dalam 1 minggu) dan paling umum terjadi pada individu dengan insufisensi renal kronik, DM, CHF, hipovolemik, atau myeloma multipel. Sindrom ini sepertinya terkait dengan dosis dan insidennya sedikit berkurang pada individu resiko tinggi dengan memakai agen kontras yang lebih mahal, nonionik kontras

Toksisitas langsung terhadap sel epitel tubuler dan atau obstruksi intratubuler adalah kejadian patofisiologis utama pada GGA yang disebabkan oleh antibiotik dan antikanker. Zat yang sering merusak adalah agen antimicrobial seperti acyclovir, foscarnet, aminoglikosida, amphotericin B, dan pentamidini, dan agen kemoterapi seperti cisplatin, carboplatin, dan ifosfamide. GGA terjadi pada 10 sampai 30% penggunaan aminoglikosida walaupun dengan kadar terapeutik. Amfoterisin B menyebabkan GGA- terkait dosis melalui vasokonstriksi intrarenal dan toksisitas langsung pada epitel tubulus. Cisplatin dan carboplatin seperti aminoglikosida terkumpul oleh sel tubulus proksimalis dan memprovokasi GGA setelah 7 hingga 10 hari dari paparan dengan cara merusak mitokondria, inhibisi dari aktivitas ATPase, transpor larutan, trauma yang dimediasi radikal bebas terhadap membran sel, apoptosis, dan nekrosis

Nephrotoxin endogen yang paling umum adalah kalsium, myoglobin, hemoglobin, urat, oxalate, dan myeloma rantai ringan. Hyperkalsemia dapat menurunkan GFR(2), kebanyakan dengan memicu vasokonstriksi intrarenal. Deposisi kalsium fosfat didalam ginjal juga berkontribusi. Rhabdomyolisis dan hemolisis dapat memicu GGA, umumnya pada pasien dengan hipovolemik atau asidosis. Myoglobinuric GGA terjadi kurang lebih 30% kasus dari rhabdomyolisis. Kasus umum ini termasuk cedera trauma tabrakan, iskemia otot akut, kejang, olahraga berlebihan, heat stroke, atau gangguan metabolisme. GGA akibat hemolisis biasanya jarang dan diperlihatkan dari reaksi pada transfuse darah yang massif. Telah menjadi postulat bahwa myoglobin dan hemoglobin atau komponen lain yang dilepaskan oleh otot atau sel darah merah menimbulkan GGA melalui efek toksik pada sel epitel tubuler, dengan mempromosi stress oksidatif pada intrarenal dan dengan memicu pembentukan serpihan padat intratubuler. Hipovolemia atau asidosis dapat berkontribusi pada patogenesis GGA dalam keadaan ini dengan pembentukan serpihan padat intratubuler.

Sebagai tambahan, hemoglobin dan myoglobin adalah penghambat yang kuat dari bioactivitas nitrit-oxide dan dapat mencetuskan vasokonstriksi intrarenal dan inskemik pada pasien dengan hypoperfusion ringan. Serpihan padat intratubuler ini mengandung immunoglobulin rantai ringan dan protein lainnya, termasuk Tamm-Horsfall protein yang diproduksi oleh sel thick ascending limb , yang merupakan pemicu utama terjadinya GGA pada pasien dengan multiple (myeloma cast nephropathy). Sebagai tambahan, rantai ringan dapat secara langsung menjadi racun untuk sel epithelial tubuler. Obstruksi intratubuler juga merupakan sebab penting terjadinya GGA pada pasien dengan hyperuricosuria atau hyperoxaluria. Nephropati asam urat akut biasanya muncul pada pengobatan gangguan lymphoproliferative atau myeloproliferative namun lebih sering terjadi akibat hyperurisemia jika urin terkonsentrasi.

Pathologi dari GGA Iskemik (1)

Gambaran patologis klasik dari GGA iskemik yaitu nekrosis fokal dari epitel tubuler dengan adanya pelepasan dari membran dasarnya dan oklusi lumen tubulus oleh serpihan padat yang terbentuk dari sel epitel yang degenerasi, debris seluler, Tamm-Horsfall mucoprotein, dan pigmen. Akumulasi lekosit juga sering telrihat pada vasa recta, namun morphologis dari glomeruli dan vasculature ginjal biasanya normal. Necrosis paling parah terlihat pada bagian pars recta dari tubulus proksimalis namun dapat juga terdapat pada bagian meduler dari thick ascending limb pada loop of Henle.

Pada GGA nephrotoksik, perubahan morfologis cenderung terlihat jelas baik pada convoluted dan pars recta tubulus proksimalis. Nekrosis sel tubuler lebih jarang terlihat dibandingkan GGA iskemik.

Penyebab lain GGA Renal.

Pasien dengan atherosclerosis berat dapat mengalami GGA setelah manipulasi aorta atau arteri renalis pada saat operasi atau angiography, setelah suatu trauma, atau yang lebih jarang, adanya embolisasi kristal kolesterol pada pembuluh darah ginjal (atheroembolic GGA). Kristal kolesterol tersumbat di dalam lumen arteri berukuran kecil atau sedang. Kemudian memicu reaksi sel giant dan reaksi fibrosis di dalam dinding pembuluh darah dengan penyempitan atau penyumbatan dari lumen pembuluh darah. Atheroembolic GGA biasanya ireversibel.

Sangat banyak struktur agen pharmalogis yang memicu GGA akibat reaksi hipersensitivitas berupa interstitial nephritis, suatu penyakit yang ditandai dengan adanya infiltrate pada tubulointerstritium berupa granulosit (biasanya namun tidak selalu, eosinophils), makrofag, dan/atau limfosit dan dengan interstitial oedema. Obat yang tersering adalah antibiotic seperti penicillins, cephalosporins, trimethoprim, sulfonamides, rifampicin dan NSAID (4)

GGA POSTRENAL

Prevalensi bstruksi saluran kemih sebagai penyebab GGA kurang dari 5% kasus GGA. Hal ini dikarenakan ginjal mempunyai kapasitas klirens untuk mengeksresi produk limbah nitrogenous setiap harinya, GGA akibat obstruksi hanya terjadi jika terdapat sumbatan aliran urin dari urethral meatus externum dan kandung kemih, obstruksi bilateral ureter, atau sumbatan ureter unilateral pada pasien dengan 1 ginjal yang berfungsi.Obstruksi buli-buli merupakan sebab umum terjadinya GGA postrenal dan biasanya disebabkan oleh penyakit prostate (seperti Bengn Prostat Hypertrophy, tumor, atau infeksi). Penyebab yang lebih jarang yaitu obstruksi saluran kemih bagian bawah termasuk bekuan darah, calculus, dan urtheritis disertai spasme. Obstruksi ureter dapat disebabkan oleh obstruksi intraluminal (kalkulus), infiltrasi dinding ureter (neoplasia) atau kompresi eksternal (retroperitoneal fibrosis, neoplasia, atau abses) Selama tahap awal obstruksi (jam sampai hari), filtrasi glomerulus yang berkontinu akan meningkatkan tekanan intraluminal di atas dari lokasi obstruksi. Sebagai hasilnya, terjadi distensi berangsur dai ureter proksimal, renal pelvis, dan calyces, dan penurunan pada GFR(2). Obstruksi akut mulanya berkaitan dengan peningkatan ringan aliran darah ginjal namun vasokonstriksi arteriolar segera terjadi mendadak, mengarahkan pada penurunan filtrasi glomerulus lebih lanjut.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Pasien yang datang dengan gagal ginjal sebaiknya segera diniliai untuk menentukan penurunan pada GFR apakah perjalanannya akut atau sudah kronis. Proses akut dengan mudah ditentukan jika pemeriksaan laboratorium sebelumnya memperlihatkan peningkatan dari kadar blood ureum nitrogen dan creatinin, namun pengukuran sebelumnya tidak selalu tersedia. Penemuan yang memperlihatkan keadaan gagal ginjal kronis termasuk anemia, neuropati, dan bukti radiologis adanya osteodistrophi ginjal atau ginjal berukuran kecil dengan jaringan parut. Namun, harus diketahui bahwa anemia juga dapat ditemukan pada GGA dan ukuran ginjal normal arau lebih sedikit besar dibandingkan ginjal pada beberapa penyakit ginjal kronis (nephropaty diabetic, amyloidosis, dan polycystic kidney disease). Setelah diagnosis GGA ditegakkan, beberapa hal perlu ditentukan segera: (1) identifikasi penyebab dari GGA, (2) eliminasi dari zat-zat pemicu (nephrotoxin) dan/atau prosedur terapi spesifik dan (3) pencegahan dan penatalaksanaan komplikasi uremik.

PENILAIAN KLINIS

Petunjuk klinis pada GGA prerenal adalah gejala kehausan dan pusing pada saat berdiri tegak dan bukti pemeriksaan fisis berupa adanya hipotensi orthostatic dan tachycardia, penurunan tekanan vena jugularis, penurunan turgor kulit, membrane mukosa yang kering, dan berkurangnya keringat pada aksiler. Riwayat adanya penurunan progresif dari produksi urin dan berat badan serta riwayat penggunaan NSAID (4) , ACE Inhibitor (5), atau angiotensin reseptor blocker. Dari pemeriksaan klinis secara seksama akan dapat terlihat stigmata dari penyakit hati kronis dan hipertensi portal, gagal jantung, sepsis, atau penyebab lain yang mengurangi volume darah arterial efektif

GGA renal akibat iskemik biasanya terjadi setelah adanya hipoperfusi ginjal berat akibat hipovolemic atau septic shock atau setelah operasi besar. Kemungkinan GGA iskemik akan dapat berkembang lebih jauh jika GGA menetap walaupun terdapat normalisasi hemodinamika sistemik. Diagnosis dari GGA akibat nephrotoxic membutuhkan peninjauan terhadap data klinis, farmakologis, perawatan, dan riwayat radiology sebagai suatu bukti terhadap paparan dari pengobatan nephrotoxin atau agen radiokontras atau terhadap toxin endogen (myoglobin, hemoglobin, asam urat, protein myeloma, atau peningkatan kalsium dalam serum).

Walaupun persentasi GGA iskemik dan nephrotoxic 90% dari kasus GGA renal, penyakit parenkim ginjal yang lain juga patut dipertimbangkan. Nyeri pinggul juga merupakan gejala umum akibat adanya oklusi dari arteri atau vena ginjal dan dengan penyakit parenkim ginjal yang membuat kapsul ginjal distensi (glomerulonephritis berat dan pyelonephritis). Nodul subcutaneous, livedo retikularis, plaq oranye retinal arteriolar, nadi kaki yang teraba merupakan tanda dari adanya atheroembolization. GGA yang berhubungan dengan oligouria, edema, hipertensi, dan sediment urin ‘aktif’ (sindrom nefritik) menunjukkan adanya glomerulonephritis atau vaskulitis. Hipertensi malignan sepertinya juga penyebab GGA pada pasien dengan hipertensi yang berat dan bukti adanya kerusakan akibat hipertensi pada organ lain (left ventricular hypertrofi, retinopati hipertensif, papiledema, atau gangguan neurologist). Demam, arthralgia, dan bercak eritematous yang gatal terjadi setelah paparan obat yang menyebabkan adanya interstitial nephritis allergic, walaupun tanda dari hipersensitivitas sistemik biasanya tak muncul

GGA postrenal memperlihatkan gejala nyeri pada suprapubik dan pinggul akibat distensi dari buli-buli dan pada saluran pengumpulan urin di ginjal serta kapsul ginjal. Nyeri kolik pinggul yang dapat merambat ke pangkal paha menunjukkan suatu obstruksi akut ureter. Penyakit prostat diduga jika terdapat riwayat nokturia, frekuensi, dan hesitansi serta pembesaran atau indurasi dari prostate pada pemeriksaan rectal. Neurogenik bladder dicurigai terjadi pada pasien yang mngkonsumsi obat-obatan antikolinergik atau adanya bukti klinis disfungsi autonom. Diagnosis definitif dari GGA postrenal sangat bergantung pada investigasi radiologik dan respon penyembuhan yang cepat setelah hilangnya sumbatan.

URINALYSIS

Anuria memberi informasi adanya sumbatan total namun dapat merupakan penanda beberapa kasus GGA prerenal dan renal. Output urin yang berfluktuasi menimbulkan kemungkinan adanya obstruksi intermitten dimana terdapat pasien dengan obstruksi saluran kemih parsial mengalami poliuria akibat gangguan mekanisme mengkonsentrasi urin.

Pada GGA prerenal, sediment bersifat aseluler dan mengandung serpihan hyaline transparan (urin sediment “jinak, “inaktif”, dan “lemah”). Serpihan jyalin terbentuk pada urin yang tekonsentrasi dari unsur normal pembentuk urin – utamanya protein Tamm-Horsfall, dimana disekresi oleh sel epithelial dari Loop of henle. Terdapat juga GGA postrenal dengan sediment inaktif, walaupun hematuria dan pyuria umum pada pasien dengan obstruksi intralumen atau penyakit prostat serpihan berpigmen “coklat lumpur” dan serpihan yang mengandung sel epitel tubulus adalah tanda dari ATN (6) dan dapat juga menunjukkan adanya GGA iskemik atau nefrotoksik. Serpihan ini biasanya ditemukan berkaitan dengan hematuria mikroskopik atau pada proteinuria “tubuler” ringan (<1g/dl). style=""> serpihan granuler yang umum adalah ciri dari penyakit ginjal kronis dan kemungkinan menunjukkan adanya fibrosis interstitial dan dilatasi tubulus. Jika dilakukan dengan pewarnaan Hansel’s, eosinophilria (>5% dari leukosit) umum ditemukan (~90%) pada nephritis interstitial allergic yang disebabkan oleh antibiotic. Tetapi lymphosit lebih dominant pada nephritis interstitial allergic akibar NSAIDs. Eosinophilluria merupakan tanda dari GGA atheroembolic. Kristal asam urat sering ditemukan pada urin terkonsentrasi pada GGA prerenal namun juga menunjukkan adanya nephropaty urat akut jika ditemukan dalam jumlah yang besar. Kristal oxalat dan hippurat meningkatkan kemungkinan keracunan ethylene glycol.

Proteinuria dengan >1 g/dl memberitahukan adanya kerusakan pada glomerular ultrafiltration barrier (proteinuria glomerular) atau eksresi dari myeloma rantai ringan. Yang terakhir tidak terdeteksi dengan dipstick biasa (yang mendeteksi albumin) dan harus direndam di asam sulfosalisilat atau tes immunoelectrophoresis. Proteinuria berat juga sering ditemukan (~80%) pada pasien yang mengalami interstitial nephritis allergic dan glomerulopathy kelainan minimal jika mengkonsumsi NSAIDs. Keadaan serupa dapat dipicu oleh pemberian ampicilin, rifampisin, atau interferon A. Hemoglobinuria atau myoglobunuria harus dipertimbangkan jika tes dipstick menunjukkan positif kuat pada heme namun mengandung sedikit sel darah merah dan jika supernatant dari urin yang tersentrifugal positif heme bebas. Bilirubinuria memberikan petunjuk akan adanya sindrom hepatorenal.

TANDA KEGAGALAN GINJAL

Analisis urin dan kimia darah sangat penting untuk membedakan antara GGA prerenal dan GGA iskemik dan nephrotoksik yang merupakan GGA renal. Fraksi eksresi sodium (FENa) paling berguna dalam hal ini. FENa menghubungkan antara klirens natrium terhadap klirens kreatinin. Natrium banyak direabsorbsi oleh filtrasi glomerulus pada pasien dengan GGA prerenal sebagai usaha untuk mempertahankan volume intravaskuler tetapi tidak pada GGA renal akibat adanya kerusakan dari sel epitel tubulus. Kontrasnya, kreatinin tidak di reabsorbsi pada kedua keadaan tersebut. Konsekuensinya, pasien dengan GGA prerenal biasanya mempunyai kadar FENa <1%>1% indeks kegagalan ginjal memperlihatkan perbandingan informasi karena variasi klinis dari konsentrasi natrium serum relative kurang. Konsentrasi natrium pada urin kurang sensitive untuk membedakan antara GGA prerenal dari GGA iskemik dan nephrotoksik dikarenakan nilai yang sama pada keduanya. Tidak jauh beda, indikator kemampuan mengkonsentrasikan urin seperti berat jenis, osmolalitas, rasio urea urin-plasma, dan rasio ureum-kreatinin, informasinya terbatas untuk menentukan differensial diagnosis

Perhatian lebih diberlakukan jika terdapat informasi kimiawi atas kegagalan ginjal. FENa dapat >1% pada GGA prerenal jika pasien mengkonsumsi diuretik, bicarbonaturia (bersamaan dengan natrium untuk mempertahankan electronetralitas), gagal ginjal kronis yang dipersulit oleh natrium wasting, atau insufisiensi adrenal. Kontrasnya, FENa <1%>

LABORATORIUM

Pengukuran kreatinin serum berulang dapat memberikan informasi penyebab GGA. GGA prerenal ditandai dengan kadar berfluktuasi yang parallel dengan perubahan fungsi hemodinamik. Kreatinin meningkat drastis (24 sampai 48 jam) pada pasien dengan GGA akibat iskemik, atheroembolisasi, dan paparan kontras radiologik. Kadar kreatinin puncak dapat terlihat setelah 3 sampai 5 hari pada nephropati kontras dan kembali pada kadar dasar setelah 5 sampai 7 hari. Sebaliknya, pada GGA iskemik dan penyakit atheroembolic, kadar kreatinin mencapai puncak setelah 7 sampai 10 hari. Peningkatan awal kreatinin serum biasanya muncul setelah 2 minggu terapi aminoglikosida dan cisplatin dan kemungkinan menunjukkan dibutuhkannya akumulasi zat ini dalam sel sebelum GFR menurun

Hyperkalenia, hyperphospatenia, hypocalcemia, dan peningkatan asam urat serum dan kadar kreatinin kinase menunjukkan diagnosis rhabdomyolisis. Hyperuricemia [>890 umol/L (>15 mg/dL)] yang berkaitan dengan hyperkalemia, hyperphosphatemia, dan peningkatan kadar peredaran enzim intraseluler seperti laktat dehidrogenase mengindikasikan adanya nephropaty urat akut dan tumor lysis syndrome setelah menjalani kemoterapi. Anion serum dan osmolal gap yang luas (osmolalitas serum terukur dikurangi dengan osmolaltas serum yang dihitung dari konsentrasi natrium, glukosa, dan ureum) mengindikasikan adanya anion atau osmole yang tidak biasanya dalam sirkulasi dan merupakan tanda dari keracunan ethylene glycol atau methanol. Anemia berat tanpa disertai perdarahan meningkatkan kemungkinan adanya hemolisis, multiple myeloma, atau microangiopathi trombotik. Eosinofilia sistemik menandakan adanya nephritis interstitial allergic dan juga tanda penyakit atheroembolic dan polyangiitis nodosa.

PENEMUAN RADIOLOGIK

Pencitraan saluran kemih dengan USG sangat berguna menyingkirkan diagnosis GGA postrenal. CT-Scan dan MRI merupakan modalitas alternative yang dapat digunakan. Dimana dilatasi pelvicaliceal sering terjadi pada obstruksi saluran kemih (~98% sensitivitas), dilatasi dapat tidak ditemukan pada permulaan obstruksi dan pada penekanan diluar sistem ureter (missal pada fibrosis retriperitoneal dan neoplasia). Retrograde pyelography adalah investigasi yang lebih definitive pada kasus yang kompleks dan memberikan lokalisasi spesifik lokasi obstruksi. Foto polos abdomen, dengan tomography jika perlu, adalah teknik skrining awal pada pasien yang dicurigai mempunyai batu saluran kemih. USG Doppler dan magnetic resonance angiography berguna untuk menilai keadaan arteri dan vena ginjal pada pasien yang dicurigai adanya obstruksi vaskulet, bagaimanapun angiographi dengan kontras biasanya dibutuhkan untuk diagnosis definitif.

BIOPSI GINJAL

Biopsi hanya dilakukan pada keadaan dimana kemungkinan diagnosis GGA postrenal dan prerenal telah disingkirkan dan penyebab dari GGA renal belum diketahui. Biopsi ginjal penting pada saat pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan diagnosis selain trauma iskemik atau nephrotoksik yang kemudian dapat menjadi pedoman terapi khusus untuk penyakit tersebut. Misalnya glomerulonephritis, vasculitis, sindrom hemolitik-uremik, purpura thrombotik thrombositopenia, dan interstitial nephritis allergic.

KOMPLIKASI

GGA mengganggu eksresi natrium, kalium, dan air dan merusak homeostasis divalensi kation serta mekanisme pengasaman urine. Akibatnya, GGA sering mempersulit volume overload pada intravaskuler, hyponatremia, hyperkalemia, hyperphosphatemia, hypocalcemia, hypermagnesemia, dan asidosis metabolik. Sebagai tambahan, pasien tidak dapat mengeskresi produk limbah nitrogen dan cenderung terkena syndrome uremik. Kecepatan dari perkembangan dan keparahan dari komplikasi ini memperlihatkan derajat kerusakan ginjal dan keadaan katabolisme dari pasien.

Ekspansi volume cairan extraseluler merupakan suatu konsekuensi mutlak dari berkurangnya eksresi air dan natrium pada pasien anuria atau oligouria. Dimana bentuk yang lebih ringan ditandai dengan peningkatan berat badan, rales paru, peningkatan tekanan vena jugular, dan edema. Ekspansi volume berkelanjutan dapat mempresipitasi edema pulmoner yang berbahaya. Hypervolemia dapat menjadi dilemma pada pasien yang sedang menjalani pengobatan intravena dan nutrisi enteral atau parenteral. Pemberian berlebihan air baik dengan cara biasa maupun dengan nasogastrik tube dan pemberian intravena larutan hipotonik atau larutan dekstrose isotonic dapat menyebabkan hipoosmolaliti dan hiponatremia, dimana jika parah dapat menyebabkan edema serebral dan abnormalitas neurologis termasuk kejang.

Hyperkalemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGA. Serum kalium biasanya meningkat 0,5 mmol/L per hari pada pasien anuri/oligouri akibat gangguan eksresi kalium yang diinfus dan kalium yang dilepaskan dari jaringan yang cedera. Asidosis metabolik yang telah ada sebelumnya dapat mengeksaserbasi hiperkalemia karena adanya effluks kalium dari sel. Hyperkalemia dapat menjadi parah, bahkan pada saat diagnosis pasien rhabdomyolisis, hemolisis, dan tumor lysis syndrome. Hyperkalemia ringan (<6.0>

Metabolisme dari asupan protein memberikan 50 hingga 100 mmol/hari asam nonvotil yang secara normal dieksresi oleh ginjal. Konsekuensinya GGA juga biasanya disertai dengan komplikasi asidosis metabolik, sering dengan peningkatan serum anion gap. Asidosis dapat menjadi parah jika produksi endogen dari ion hidrogen meningkat akibat mekanisme lainnya (misalnya ketoasidosis diabetik, laktat asidosis akibat hipoperfusi jaringan, penyakit hati, sepsis, atau metabolisme ethylene glycol dan methanol.

Hiperphospatemia ringan adalah komplikasi tersering dari GGA. Hiperphospatemia berat dapat berkembang pada pasien dengan katabolisme tinggi atau setelah rhabdomyolysis, hemolysis, atau tumor lysis. Deposisi metastatik dari kalsium fosfatase dapat menyebabkan hipocalcemia, terlebih jika kadar konsenstrasi kalsium dan fosfat melebihi 70 mg/dL. Faktor lainnya yang berkontribusi pada hipocalcemia termasuk resistensi jaringan terhadap pengaruh hormon paratirhoid dan penurunan kadar 1,25-dihydroxyvitamin D. Hypocalcemia biasanya asimptomatis namun dapat menyebabkan paresthesia perioral, keram otot, kejang, halusinasi, dan perubahan berkepanjangan dari T-wave serta QT interval pada pemeriksaan EKG

Anemia berkembang secara cepat pada GGA dan umumnya ringan serta terjadi akibat banyak faktor. Faktor yang berkontribusi yaitu gangguan eritropoesis, hemolisis, perdarahan, hemodilusi, dan menurunnya umur sel darah merah. Memanjangnya waktu perdarahan dan leukositosis juga umum. Infeksi merupakan komplikasi berat dan umum GGA yang terjadi pada 50 hingga 90% kasus GGA dan 75% menyebabkan kematian. Belum jelas apakah pasien dengan GGA memiliki defek klinis signifikan pada respon imun atau adanya peningkatan insidens infeksi akibat adanya kerusakan berulang pada barier mukokutan (contoh pada kanul intravena, ventilasi mekanik, kateter saluran kemih. Komplikasi kardiopulmoner pada GGA termasuk arrhythmias, myocardial infarction, pericarditis dan efusi pericardial, edema pulmoner, dan emboli pulmoner. Perdarahan gastrointestinal ringan juga dapat ditemukan (10 sampai 30% ) dan biasanya akibat stress ulser pada mukosa lambung atau usus halus.

GGA berat yang berkepanjangan akan dapat berkembang menjadi sindrom uremik

Diuresis aktif dapat terjadi selama fase penyembuhan GGA, dapat juga, pada beberapa keadaan, menyebabkan penurunan volume intravaskuler dan lambatnya penyembuhan GFR. Hipernatremia dapat juga menjadi komplikasi pada fase penyembuhan jika pengeluaran cairan melalui urin hipotonik tidak digantikan secara tepat dengan larutan saline hipertonik. Hypokalemia, hypomagnesemia, hypophosphatemia, dan hypocalcemia adalah komplikasi metabolik yang lebih jarang pada fase ini

PENGOBATAN

Pencegahan

Karena tidak ada terapi spesifik untuk GGA iskemik dan nephrotoksik, pencegahan merupakan hal yang paling penting. Bayak kasus GGA iskemik dapat dihindari dengan adanya perhatian lebih tinggi pada fungsi kardiovaskuler, seperti pada pasien beresiko tinggi seperti lansia dan seseorang yang telah memiliki insufisiensi renal sebelumnya. Restorasi agresif volume intravaskuler telah menunjukkan penurunan dramatis terhadap insiden GGA iskemik setelah terjadinya operasi mayor atau pada trauma berat dan luka bakar. Insiden GGA nephrotoxic dapat diturunkan dengan penyesuaian obat nephrotoksik terhadap ukuran badan dan GFR. Sebagai contoh, mengurangi dosis atau frekuensi pemakian obat pada pasien yang memiliki kerusakan ginjal sebelumnya. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa kadar kreatinin serum relative kurang sensitive untuk mengetahui GFR dan dapat terlihat lebih tinggi pada pasien berukuran kecil atau pada lansia. Untuk tujuan menentukan dosis obat, sangat dianjurkan untuk menggunakan formula Cockcroft-Gault dimana faktor berat badan dan umur mempengaruhi hasilnya. Menyesuaikan dosis obat berdasarkan kadar obat yang bersirkulasi juga sepertinya mengurangi resiko cedera di ginjal pada pasien yang mengkonsumsi antibiotik aminoglycoside, cyclosporine, or tacrolimus. Diuretics, cyclooxygenase inhibitors, ACE8 inhibitors, angiotensin II receptor blockers, dan vasodilator lainnya harus digunakan dengan perhatian lebih pada pasien yang dicurigai memiliki hypovolemia yang nyata atau penyakit renovaskuler karena zat-zat ini dapat merubah GGA prerenal menjadi GGA iskemik di masa depan. Allopurinol dan diuresis alkaline berguna sebagai profilaksis pada pasien dengan beresiko tinggi terkena nephropati asam urat akut (misalnya pada kemoterapi kanker hematologik) dengan cara membatasi pembentukan asam urat dan mencegah presipitasi kristal urat pada tubulus ginjal. Provokasi diuresis alkalin dapat juga mencegah atau mengurangi GGA pada pasien yang mengkonsumsi methotrexat dosis tinggi atau menderita rhabdomyolisis. N-acetylcysteine membatasi cedera ginjal yang disebabkan oleh acetaminophen jika diberikan 24 jam pertama setelah asetaminofen dikonsumsi. Ethanol menghambat metabolisme ethylene glycol menjadi asam oxalic dan hasil metabolit toksik lainnya dan merupakan tambajan penting pada hemodialisis pada penanganan kegawatdaruratan intoksikasi ethylene glycol.

Terapi spesifik

Pada dasarnya, GGA prerenal dapat reversible secara cepat setelah memperbaiki abnormalitas hemodinamika primer dan GGA postrenal dapat disembuhkan setelah obstruksi dihilangkan. Sampai sekarang, tidak ada terapi spesifik untuk GGA renal karena iskemik atau nephrotoxic. Penanganan terhadap kelainan ini berfokus pada menghilangkan penyebab abnormalitas hemodinamika, menghindari paparan lanjutan dari toxin, dan pencegahan serta penanganan komplikasi. Terapi spesifik GGA renal yang disebabkan oleh keadaan lainnya tergantung patologis penyebab.

GGA PRERENAL.

Komposisi dari terapi penggantian cairan pada GGA prerenal akibat hipovolemia harus menyesuaikan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemi berat akibat perdarahan sebaiknya diterapi dengan transfuse packed red cells, dimana saline isotonic hanya tepat untuk terpati penggantian cairan pada perdarahan ringan atau sedang atau kerusakan plasma (luka bakar, pankreatitis). Komposisi cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi namun biasanya hipotonik. Larutan hipotonik (mis. Saline 0,45%) biasanya direkomendasikan sebagai terapi pengganti awal pada GGA prerenal akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih dan gastrointestinal, walaupun salin isotonic dapat berguna pada kasus yang lebih berat. Terapi berkesinambungan sebaiknya berdasarkan pada pengukuran kandungan ion dan volume cairan yang dieksresikan. Kadar potassium serum dan status asam-basa sebaiknya dimonitor secara seksama. Gagal jantung membutuhkan penatalaksaan aktif dengan inotropik positif, agen penurun preload dan afterload, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanik seperti balon intraoaortik. Pengawasan hemodinamika invasif dibutuhkan sebagai pedoman terapi komplikasi pada pasien yang secara klinis fungsi kardiovaskulernya dan volume intravaskuler sulit dinilai.

Penatalaksanaan cairan biasanya sulit pada pasien dengan sirosis berkomplikasi asites. Pada keadaan ini, penting untuk membedakan antara full-blown sindrom hepatorenal, yang dapat membawa prognosis buruk, dengan GGA reversible yang disebabkan oleh hipovolemia akibat penggunaan diuretik berlebihan atau sepsis (misal, spontaneous bacterial peritonitis). Kontribusi hipovolemi terhadap kejadian GGA secara definitf dapat dinilai hanya dengan pemberian cairan tambahan. Cairan sebaiknya diberikan secara perlahan dan disesuaikan dengan jugular venous pressure dan bila perlu, dengan pengukuran CVP (Central venous pressure) dan PCWP (pulmonary capillary wedge pressure), lingkar perut, dan output urin. Pasien dengan komponen prerenal reversible biasanya memiliki peningkatan output urin dan penurunan kreatinin serum, dimana tidak ditemukan pada pasien dengan sindrom hepatorenal dan dapat terjadi peningkatan pembentukan asites serta gejala pulmoner jika tidak diawasi dengan baik. Volume berlebihan asites biasanya dapat didrainase dengan metode parasentesis tanpa penurunan fungsi ginjal jika albumin intravena diberikan secara bersamaan. Dikatakan bahwa paracentesis dalam volume besar dapat memicu peningkatan GFR, kemungkinannya dengan cara menurunkan tekanan intraabdominal dan memperbaiki aliran vena renalis. Pengalihan cairan asites dari peritoneum ke vena centralis (peritoneojugular shunt, LeVeen atau Denver shunts) merupakan pendekatan alternative pada kasus yang refrakter (sulit diobati) namun belum menunjukkan peningkatan harapan hidup pada kelompok kontrol. Efek teknik terbaru dengan transjugular intrahepatic portosystemic shunting (TIPS procedure) sekarang ini masih dalam penilitian yang serius. Pengalihan juga dapat secara perlahan memperbaiki GFR dan eksresi natrium, kemungkinan karena peningkatan volume darah sentral memicu pelepasan atrial natriuretic peptides (ANPs) dan menghambat sekresi aldosterone dan norepinephrine.

GGA RENAL.

Banyak pendekatan yang berbeda telah diteliti kemampuannya dalam mengurangi cedera atau mempercepat penyembuhan GGA iskemik dan nephrotoxic. Termasuk ANP, dopamine dosis rendah, antagonis endothelin, loop diuretics, calcium channel blockers, a-adrenoreceptor blockers, analog prostaglandin, antioxidants, antibody leukocyte adhesion molecules, dan insulin-like growth factor type I. Walaupun kebanyakan dari pendekatan ini bermanfaat pada model penelitian GGA iskemik dan nephrotoxic, namun tidak memperlihatkan manfaat yang konsisten (hasilnya bervariasi) dan terbukti tidak efektif pada manusia

GGA renal akibat penyakit intrinsic renal lainnya seperti glomerulonephritis akut atau vaskulitis dapat berespon terhadap kortikosteroid, alkylating agents, dan/atau plasmapheresis, tergantung dari patologi primernya. Glucocorticoids juga dapat mempercepat remisi pada kasus nephritis interstitial allergic. Pengendalian aktif terhadap tekanan arteri sistemik juga sangat penting dalam mengurangi cedera ginjal pada malignant hypertensive nephrosclerosis, toxemia pada kehamilan, dan penyakit vakuler lainnya. Hipertensi dan GGA akibat scleroderma dapat sangat sensitive dengan pengobatan ACE inhibitors.

GGA POSTRENAL

Penanganan GGA postrenal membutuhkan kolaborasi mendalam dari ahli nephrology, urology, dan radiology. Obstruksi urethra atau kandung kemih biasanya diatasi pertama-tama dengan kateter transurethra, yang akan memberikan penyembuhan temporer, sementara lesi obstruksi diidentifikasi dan kemudian diberikan terapi definitive. Mirip dengan itu, obstruksi ureter dapat diterapi mula-mula dengan katerisasi percutaneous terhadap pelvis renalis atau ureter yang terdilatasi. Obstruksi biasanya dapat disingkirkan secara percutaneous (mis, calculus) atau bypass dengan memasukkan stent ureter (misal, karsinoma). Sebagian besar pasien mengalami diuresis yang tidak biasanya selama beberapa hari setelah terapi obstruksi. Sekitar 5% pasien akan mendapatkan sindrom salt-wasting yang memerlukan pemberian salin intravena untuk menjaga tekanan darah

Penanganan supportif.

Untuk penanganan hipovolemia, intake natrium dan air disesuaikan dengan jumlah cairan yang hilang. Hypervolemia biasanya dapat ditangani dengan restriksi intake garam dan air serta pemakian diuretic seperti furosemide. Loop diuretics dosis tinggi seperti furosemida( 200-499 mg IV) atau bumetanide (sampai 10 mg diberikan dalam bentuk bolus IV atau dengan infus) dapat memacu diuresis pada pasien yang tidak berespon dengan dosis biasanya. Walaupun dikatakan bahwa dosis subpressor dopamine terkadang dapat memicu eksresi air dan natrium dengan meningkatkan aliran darah ginjal, meningkatkan GFR dan menghambat reabsorbsi natrium di tubulus; dopamin dosis rendah (subpressor) terbukti tidak efektif dalam penelitian klinis dan justru dapat mengakibatkan arritmia dan sudden cardiac death pada pasien dengan sakit yang berat, dan sebaiknya tidak digunakan sebagai agen renoprotektif pada keadaan seperti ini. Ultrafiltrasi atau dialisis digunakan untuk menangani hypervolemia yang berat jika penanganan regular gagal. Hyponatremia dan hypoosmolality biasanya dapat diatasi dengan restriksi intake cairan. Sebaliknya, hypernatremia ditangani dengan pemberian air atau larutan saline hypotonic atau cairan isotonic yang mengandung dextrose. Penanganan hyperkalemia dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.

Asidosis metabolic tidak selalu diatasi kecuali konsentrasi bikarbonat serum turun hingga di bawah 15 mmol/L atau arterial pH turun dibawah 7.2. Asidosis yang lebih berat dikoreksi dengan pemberian natrium bikarbonat melalui oral atau intravena. Jumlah pemberian awal disesuaikan dengan estimasi defisit dan disesuaikan berdasarkan kadar serum. Adanya komplikasi dari pemberian natrium bikarbonat perlu diwaspadai pada pasien, komplikasi dapat berupa hypervolemia, alkolosis metabolic, hypocalcemia, dan hypokalemia. Dari pandangan praktikal, kebanyakan pasien yang membutuhkan natrium bikarbonat membutuhkan dialysis darurat beberapa hari kemudian. Hyperphosphatemia juga umumnya dapat dikendalikan dengan restriksi fosfat, dan dengan aluminium hydroxida oral atau kalsium karbonat, yang mengurangi absorbsi fosfat pada saluran cerna. Hypocalcemia tidak selalu ditangani kecuali pada keadaan yang sangat berat hingga dapat menyebabkan rhabdomyolisis atau pankreatitis atau setelah pemberian bikarbonat. Hyperuricemia biasanya ringan [<890>

Tujuan dari penanganan nutrisi selama GGA fase maintenance adalah untuk menyediakan kalori yang cukup untuk menghindari katabolisme dan ketoasidosis akibat kelaparan sekaligus meminimalisir produksi limbah nitrogen. Tujuan ini paling baik dicapai dengan restriksi diet protein hingga sekitar 0.6 g/kg per hari untuk protein yang memiliki nilai bologis tertinggi (mis, kaya akan asam amino essensial) dan memberikan kalori terbanyak melalui karbohidrat(Sekitar 100 g setiap harinya). Penanganan nutrisi lebih mudah dilakukan pada pasien nonoligoric dan setelah dialysis. Hyperalimentasi parenteral dalam jumlah besar akan memperbaiki prognosis, namun, manfaat langsung belum diperlihatkan dari model control pada suatu penilitian

Anemia sering kali membutuhkan transfuse darah pada keadaan berat dan masa penyembuhan melambat. Berbeda dengan Gagal ginjal kronik, recombinant human erythropoietin jarang digunakan pada GGA karena resistensi sum-sum tulang terhadap erithropoetin sering terjadi, sehingga penanganan cepat terhadap anemia dibutuhkan dan gagal ginjal biasanya self-limiting. Perdarahan uremik biasanya terjadi setelah koreksi anemia, pemberian desmopressin atau estrogen, atau dialysis. Antasida dosis reguler sepertinya mengurangi insiden perdarahan gastrointestinal dan dapat lebih efektif pada keadaan ini dibandingkan Antagonis H2-reseptor atau PPI. Perawatan rutin kanula intravena, kateter urin, dan peralatan infasif lainnya sangat perlu dilakukan untuk mencegah infeksi. Sangat disayangkan, antibiotic profilaksis tidak menunjukkan penurunan insiden terjadinya infeksi pada pasien resiko tinggi ini

INDIKASI DAN MODALITAS DIALISIS

Dialisis dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal sampai terjadi regenerasi dan perbaikan dari fungsi ginjal. Hemodialysis dan peritoneal dialysis sepertinya sama efektifnya untuk penanganan GGA. Sehingga modalitas dialysis dipilih berdasarkan kebutuhan dari tiap-tiap pasien, (misalnya., peritoneal dialysis dipilih pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dan hemodialisis dilakukan setelah bedah abdominal yang melibatkan peritoneum), keahlian nephrologist, dan fasilitas yang disediakan Rumah Sakit. Akses vaskuler untuk conventional intermittent hemodialysis didapatkan dengan memasukkan kateter hemodialisis double-lumen ke dalam vena jugularis internm. vena subclavian dan femoral adalah akses alternative yang dapat digunakan. Peritoneal dialysis dilakukan dengan memasukkan kateter “cuffed” kedalam rongga peritoneum. Inikasi asolut dialysis termasuk adanya gejala sindrom uremik dan untuk menangani hypervolemia yang refrakter, hyperkalemia, dan asidosis. Kebanyakan nephrologists juga memulai dialysis jika kadar ureum darah >100 mg/dL, walaupun tidak ditemukan tanda klinis uremia. Namun, pendekatan ini belum divalidasi dengan penelitian klinis terkontrol. Bukti terkini mengatakan bahwa semakin intensif hemodialisis dilakukan (mis, tiap hari dibandingkan dengan tiap 2 hari ) semakin baik dan menunjukkan harapan hidup yang lebih baik pada GGA selama dialysis itu diperlukan. Kesimpulan ini mungkin tidak sesuai pada awalnya karena dialysis sendiri, telah dipostulat dapat memperpanjang periode oligouria pada beberapa kasus akibat hipotensi dan iskemi ginjal lebih lanjut dan melalui aktifasi leukosit pada membran dialysis yang kemudian dapat mencetuskan cedera pada ginja

Continuous renal replacement therapies (CRRTs) merupakan alternatif selain dari teknik hemodialisis intermitten konvensional sebagai penanganan GGA. CRRT merupakan teknik yang bermanfaat pada keadaan dimana hemodialisis intermitten konvensional gagal mengendalikan hypervolemia atau uremia dan orang yang tidak cukup dengan intermittent hemodialysis dan pada saat peritoneal dialysis tidak dapat dilakukan. Continuous arteriovenous hemodiafiltration (CAVHD) membutuhkan akses vena dan arteri. Tekanan darah pasien menciptakan ultrafiltrasi plasma pada pori membrane dialysis yang biocompatible. Larutan crystalloid fisiologis lewat melalui sisi lain dari membrane untuk terjadinya diffuse. Continuous venovenous hemodiafiltration (CVVHD), sebaliknya, hanya membutuhkan sebuah kateter vena double-lumen sebagai pompa yang menimbulkan tekanan ultrafiltrasi sepanjang membrane dialysis. Pada teknik yang lebih sederhana yaitu pada continuous arteriovenous hemofiltration (CAVH) dan continuous venovenous hemofiltration (CVVH) langkah dialysis disingkirkan dan ultrafiltrasi plasma dipindahkan dari membrane dialysis dan digantikan oleh larutan kristaloid fisiologis. Bukti terkini mengatakan bahwa terapi dialysis yang intermitten atau yang berkesinambungan sama efektifnya pada kasus GGA. Pemilihan teknik murni berdasarkan kebutuhan pasien, fasilitas rumah sakit, dan keahlian dari dokter. Potensi kekurangan dari teknik hemodialysis berkelanjutan yaitu membutuhkan immobilisasi yang panjang pada tempat tidur , antikoagulasi sistemik, dan kanul arterial (pada CAVH) dan terpaparnya darah lebih lama oleh membran dialisis (walaupun relatif biocompatible).

PROGNOSIS DAN OUTPUT JANGKA PANJANG

Nilai mortalitas pada pasien dengan GGA sekitar 50% dan telah berkurang sedikit selama 30 tahun terakhir. Perlu ditekankan, bagaimanapun, pasien biasanya meninggal akibat sekuele dari penyakit primer yang mencetuskan GGA dan bukan karena GGA itu sendiri. Dikatakan bahwa ginjal adalah salah satu dari sedikit organ yang fungsinya dapat digantikan oleh mesin (dialysis) untuk periode waktu yang cukup lama. Sesuai dengan interpretasi ini, jumlah mortalitas sangat bervariasi tergantung pada penyebab GGA, dan ~15% pasien kebidanan, ~30% GGA akibat toksin, and ~60% setelah trauma atau operasi besar. Oliguria (<400 style=""> >265 umol/L (>3 mg/dL) berprognosis buruk dan kemungkinan memperlihatkan keparahan dari cedera ginjal atau dari penyakit primer. Jumlah mortalitas lebih tinggi pada pasien lanjut usia dan pada pasien dengan kegagalan multiorgan. Kebanyakan pasien yang melewati episode GGA dapat sembuh dengan fungsi ginjal semula dan dapat melanjutkan hidup seperti biasanya. Namun, 50% kasus memiliki gangguan fungsi ginjal subklinis atau dapat ditemukan bekas luka residual pada biopsy ginjal. Sekitar 5% pasien tidak pernah kembali fungsi ginjalnya dan membutuhkan penggantian fungsi ginjal jangka panjang dengan dialysis atau transplantasi. Sebagai tambahan 5% kasus mengalami penurunan GFR progressif, setelah melalui fase awal penyembuhan, kemungkinan akibat stress hemodynamic dan sclerosis glomeruli yang tersisa.