Selasa, 02 Desember 2008

SKIZOFRENIA

Psikosa (Sakit Jiwa)
disusun oleh Muhammad Akbar

    Pengertian Psikosa

Dengan meninjau sistem kepribadian (dinamika jiwa):

    1. Menurut Freud, bahwa kepribadian terdiri atas tiga sistem/lapis id, ego, super-ego. Susunan teratur, kerjasamanya harmonis. Pada psikosa: susunan tidak teratur, bahkan antara ego dan super-ego jadi jenuh, sehingga orang tak dapat menghayati realita.

    2. Pada penciptaan manusia, di mana disebutkan diciptakan berjiwa tauhid dan berkepribadian iman dan takwa. Pada manusia dewasa (umur 20/25 tahun 35/40 tahun), iman dan takwa (kepribadian) harus sudah mantap/masak. Kalau belum maka diulang, kalau pengulangan dimulai dari bawah 7 tahun, orang itu disebut menderita sakit jiwa.

Pada penderita psikosa (sakit jiwa) pada umumnya dan pada penderita skizofrenia khususnya, terjadi tak kekompakkan dalam aspek-aspek:

  1. Kontak psikis (hubungan antara penderita dengan orang lain). Misalnya: Autisme, isolasi diri dan lain-lain.

  2. Perhatian dan inisiatif. Misalnya: ide paranoid.

  3. Daya menghayati realitas. Misalnya: waham, halusinasi dan lain-lain.

  4. Proses berpikir. Misalnya: logorea, inkoherensi dan lain-lain.

  5. Keadaan afek dan kehidupan emosi. Misalnya: afek datar, ketidak sesuaian afek dan lain-lain.

  6. Dorongan dan perbuatan instinctual. Misalnya: hipoaktivitas, hiperaktivitas dan lain-lain.

Di mana kekompakkan aspek-aspek tersebut merupakan syarat mutlak bagi individu dalam kehidupan/pergaulan dalam masyarakat:

  • Sebagai manusia berke-Tuhanan

  • Sebagai manusia individual

  • Sebagai manusia sosial

  • Sebagai manusia lingkungan

Karenanya penderita sakit jiwa (psikosa) mengalami gangguan/kemunduran dalam sosialisasinya, kepandaiannya dan lain-lain, maka timbullah/terbentuklah gejala-gejala gangguan jiwa, (Prayitno, 2004).

Skizofrenia

    Pengertian skizofrenia

Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai di mana-mana sejak dahulu kala. Sebelum Kraepelin tidak ada kesatuan pendapat mengenai berbagai gangguan jiwa yang sekarang dinamakan skizofrenia, (Kaplan dan Sadock, 2003).

Kraepelin ialah seorang ahli kedokteran jiwa di kota Munich dan ia mengumpulkan gejala-gejala dan sindroma itu dan menggolongkannya ke dalam satu kesatuan yang dinamakannya demensia precox.

Menurut Kreapelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu dinamakannya demensia (kemunduran intelegensi) precox (muda, sebelum waktunya), (Kaplan dan Sadock, 2003).

New Haven (Kaplan dan Sadock, 2003), memberikan indeks untuk merumuskan pengertian skizofrenia, sebagai berikut :

  1. a. Waham: tidak ditentukan atau selain dari deperesif

    1. Halusinasi dengar

    2. Halusinasi lihat

    3. Halusinasi lain

  1. a. Pikiran aneh

    b. Automatisme atau pikiran pribadi yang jelas tidak realistik

    c. Pengenduran asosiasi, pikiran tidak logis, overindusion.

    d. Penghambatan

    e. Kekonkretan

    f. Derealisasi

    g. Depersonalisasi

  2. Afek yang tidak sesuai

  3. Konfusi

  4. Ide paranoid (pikiran merujuk pada diri sendiri, kecurigaan)

  5. Perilaku katatonik (kegembiraan, stupor, flesibilitas lilin, negativisme, mutisme, ekolalia, aktivitas motorik stereotipik).

Untuk dapat dianggap sebagai skizofrenia, pasien harus memiliki nilai pada butir 1 atau butir 2a, atau 2c. dan harus mendapatkan skor total sekurangnya 4 poin.

  1. Gambaran klinis

Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual di mana gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, pendenta skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial), (Luana, 2007).


  1. Jenis-jenis skizofrenia

    Skizofrenia simpleks

Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat” (Maramis, 2004).

Skizofrenia hebefrenik

Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2004) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.


    1. Skizofrenia katatonik

Menurut Maramis (2004) skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

Stupor katatonik

Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.

Gaduh gelisah katatonik

Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.

    1. Paranoid

Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan, (Maramis, 2004).

    1. Episode skizofrenia akut

Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya.

Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya, (Maramis, 2004).

    1. Skizofrenia residual

Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia, (Maramis, 2004).

    1. Skizofrenia skizoafektif

Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis, 2004).

    Diagnosis skizofrenia

Pedoman Diagnostik PPDGJ III

  • Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

    1. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
      - “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
      - “thought broadcasting”= isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;

    2. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
      - “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
      - “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat;

    3. Halusinasi auditorik:

      • suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau

      • mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau

      • jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.

    4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain)

  • Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

    1. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;

    2. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;

    3. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;

    4. gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

  • Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

Menurut Bleuler diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat ganguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian serta diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder. Sedangkan Schneider berpendapat bahwa diagnosa sudah boleh dibuat bila terdapat satu dari gejala-gejala halusinasi pendengaran dan satu gejala gangguan batas ego dengan syarat bahwa kesadaran penderita tidak menurun (PPDGJ III).

Setionegoro (Maramis, 2004) membuat diagnosa skizofrenia dengan memperhatikan gejala-gejala pada tiga buah koordinat. Koordinat pertama (organobiologik) yaitu, autisme, gangguan afek dan emosi, gangguan asosiasi (proses berfikir), ambivalensi (gangguan kemauan) serta gangguan aktifitas maupun gangguan konsentrasi. Koordinat kedua (psikologik) yaitu, gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keperibadian, dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik motivasi dan psikodinamika dalam interaksi dengan lingkungan. Koordinat ketiga (sosial) yaitu, gangguan pada kehidupan sosial penderita yang diperhatikan secara fenomenologik.

Schneider (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan kriteria diagnosa berdasarkan urutan gejala sebagai berikut:

Gejala urutan pertama:

    1. Pikiran yang dapat digeser

    2. Suara-suara yang berdebat atau berdiskusi atau keduanya

    3. Suara-suara yang mengkomentari

    4. Pengalaman pasivitas somatik

    5. Penarikan pikiran dan pengalaman pikiran yang dipengaruhi lainnya

    6. Siar pikiran

    7. Persepsi bersifat waham

    8. Semua pengalaman lain yang melibatkan kemauan, membuat afek dan membuat impuls.

Gejala urutan kedua:

      1. Gangguan persepsi lain

      2. Gagasan bersifat waham yang tiba-tiba

      3. Kebingungan

      4. Perubahan mood disforik dan euforik

      5. Perasaan kemiskinan emosional

      6. “…dan beberapa lainya juga”


Langfeldt (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan kriteria diagnosis sebagai berikut:

Kriteria gejala

Petunjuk penting ke arah diagnosis skizofrenia adalah (jika tidak ada tanda gangguan kongnitif, infeksi, atau intoksikasi yang dapat ditunjukkan).

  1. Perubahan keperibadian yang bermanifestasi sebagai penumpulan emosional dengan jenis khusus diikuti oleh hilangnya inisiatif dan perilaku yang berubah dan seringkali aneh (khususnya pada hebefrenik, perubahan adalah karakteristik dan petunjuk utama ke arah diagnosis).

  2. Pada tipe katatonik, riwayat penyakit dan tanda tipikal dalam periode kegelisahan dan stupor (dengan negativisme, wajah berminyak, katalepsi, gejala vegetatif, dll).

  3. Pada psikosis paranoid, gejala penting pembelahan keperibadian (atau gejala depersonalisasi) dan hilangnya perasaan realitas (gejala derealisasi) atau waham primer.

Kriteria perjalanan penyakit

Keputusan akhir tentang diagnosis tidak dapat dibuat sebelum periode follow-up selama sekurangnya lima tahun telah menunjukkan perjalanan penyakit yang jangka panjang.


  1. Prognosis skizofrenia

Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut, riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk, (Luana, 2007).


  1. Pengobatan skizofrenia

  1. Psikofarmaka

Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin fundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguan miksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg di antaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg di antaranya adalah chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau anti psikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon, (Luana, 2007).

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:

    1. Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu. Onset efek sekunder (efek samping): 2-6 jam.

    2. Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2x per hari)

    3. Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga tidak mengganggu kualitas hidup penderita.

    4. Obat anti psikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk pasien yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.

      Cara atau lama pemberian

Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2 minggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12 minggu (stabilisasi). Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holidaytapering off (dosis diturunkan 2-4 minggu) lalu dihentikan..
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multi episode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya pemberian obat anti psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian antikolinergikt seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg (secara intra muskular), tablet trihexyphenidyl 3x2 mg/hari, (Luana, 2007).
1-2/hari/minggu) setelah itu


  1. Psikososial

Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain:

  • Psikoterapi individual

    • Terapi suportif

    • Sosial skill training

    • Terapi okupasi

    • Terapi kognitif dan perilaku (CBT)

  • Psikoterapi kelompok

  • Psikoterapi keluarga

  • Manajemen kasus

Assertive Community Treatment (ACT)


  1. Kekambuhan skizofrenia

Kekambuhan gangguan jiwa pisikotik adalah munculnya kembali gejala-gejala pisikotik yang nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari RS mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan sosial, (Porkony dkk, 1993).

Porkony dkk (1993), melaporkan bahwa 49% penderita Skizofrenia mengalami rawat ulang setelah follow up selama 1 tahun, sedangkan penderita-penderita non Skizofrenia hanya 28% . Solomon dkk (1994), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40% penderita mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat 40%-50% penderita mengalami kekambuhan, dari setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75% penderita mengalami kekambuhan, (Porkony dkk, 1993).

Penderita dengan skizofrenia dapat mengalami remisi dan kekambuhan, mereka dapat dalam waktu yang lama tidak muncul gejala, maka skizofrenia sering disebut dengan penyakit kronik, karena itu perlu mendapatkan perhatian medis yang sama, seperti juga individu-individu yang menderita penyakit kronik lainnya seperti hipertensi dan diabetes mellitus.

Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress, (cybermed.cbn.net.id).

Empat faktor penyebab penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger, 1988:

Penderita

Sudah umum diketahui bahwa penderita yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur (Appleton, 1982, dikutip oleh Sullinger, 1988).

Dokter

Makan obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.

Penanggung jawab penderita

Setelah penderita pulang ke rumah maka pihak rumah sakit tetap bertanggung jawab atas program adaptasi penderita di rumah.

Keluarga

Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu penderita juga mudah dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga penderita dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stres. Cara terapi bisanya: mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada penderita ganguan jiwa, memfasilitasi untuk menemukan situasi dan pengalaman baru bagi penderita.

Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu: menjadi ragu-ragu dan serba takut, tidak nafsu makan, sukar konsentrasi, sulit tidur, depresi, tidak ada minat serta menarik diri, (Iyus, 2007).

Untuk dapat hidup dalam masyarakat, maka penderita skizofrenia perlu mempelajari kembali keterampilan sosial. Penderita-penderita yang baru keluar dari RS memerlukan pelayanan dari masyarakat agar mereka dapat menyesuaikan diri dan menyatu dalam masyarakat. Tingginya angka rehospitalisasi merupakan tanda kegagalan dalam sistem masyarakat. Penderita kronis di dalam masyarakat membutuhkan dukungan hidup yang dapat dipertahankan untuk waktu yang lama. Beberapa penderita tetap dapat mengalami kekambuhan meskipun mereka mendapatkan pelayanan pasca rawat (after care services) pada instansi-instansi. Lin dkk (1982) melaporkan bahwa 36% dari penderita skizofrenia yang tinggal di panti setelah perawatan di RS tetap mengalami kekambuhan, (Porkony dkk, 1993).


Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Kekambuhan Skizofrenia


Sullivan mengemukakan teori psikodinamika skizofrenia berdasarkan perjalanan-perjalanan klinik, di mana pusat dari psikopatologinya adalah gangguan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam proses terjadinya skizofrenia. Pernyataan ini juga berlaku sebaliknya, lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam proses penyembuhan skizofrenia. Sebab, dikatakan oleh Sullivan bahwa skizofrenia merupakan hasil dari kumpulan pengalaman-pengalaman traumatis dalam hubungannya dengan lingkungan selama masa perkembangan individu (Kaplan dan Sadock, 2003).

Titik berat penelitian-penelitian tentang dukungan sosial keluarga dan gangguan psikotik terutama skizofrenia adalah pada efek yang menghapuskan hubungan traumatik sendiri seperti pernyataan emosi, rasa kebersamaan yang semu, mencari kambing hitam dan keterikatan ganda. Aspek-aspek dukungan sosial keluarga terdiri dari empat aspek yaitu aspek informatif, aspek emosional dan aspek penilaian atau penghargaan serta aspek instrumental, sebagaimana yang dikatakan oleh House dan Kahn (1995) tersebut di atas di titik beratkan pada besar dan padatnya jaringan kerja sosial, misalnya hubungan dengan keluarga dan sifat-sifat hubungan sebelumnya, (Breier & Strauss, 1994).

Hal ini menunjukkan bahwa kuat lemahnya dukungan sosial keluarga terhadap penderita berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan skizofrenia. Semakin kuat dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin cepat tingkat kesembuhan skizofrenia. Sebaliknya semakin lemah dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin lama tingkat kesembuhan skizofrenia. Demikian juga halnya dengan kekambuhan skizofrenia, terkait dengan kuat lemahnya dukungan sosial keluarga.

Didapatkan 12 fungsi hubungan sosial dan 2 fase kebutuhan sosial yang penting selama periode penyembuhan (Breier & Strauss, 1994). Fungsi-fungsi yang menolong dalam hubungan sosial tersebut adalah 1) ventilasi, 2) tes realita, untuk menilai kemampuan penderita di dalam membedakan realita, 3) macam dukungan sosial terutama keluarga, 4) persetujuan dan perpaduan sosial terutama keluarga dan lingkungan dekatnya, di mana penderita ingin diterima kembali dalam lingkungan sosialnya dan mengharapkan hubungan dengan orang-orang yang dikenalnya sebelum ia masuk RS, 6) motivasi, 7) pembentukan, di mana penderita mencontoh tingkah laku orang lain untuk meningkatkan fungsi sosialnya, 8) pengawasan gejala, 9) pemecahan masalah, 10) pengertian yang empatik, 11) saling memberi dan menerima, 12) insight.

Fase kebutuhan sosial adalah 1) fase penyembuhan, penderita sangat membutuhkan perhatian dari keluarganya karena tidak dapat mandiri, fungsi hubungan sosial yang digunakan di sini adalah macam dukungan dan ventilasi, 2) fase pembentukan kembali, fungsi hubungan sosial yang digunakan adalah motivasi, saling memberi dan menerima, pengawasan gejala. 12 fungsi hubungan sosial dan 2 fase kebutuhan sosial yang penting selama periode penyembuhan (Breier dan Strauss, 1994) tersebut sangat erat kaitannya dengan dukungan sosial keluarga.

Pemberian obat antipsikotik dapat mengurangi resiko kekambuhan, tetapi obat-obatan tersebut tidak dapat mengajarkan tentang kehidupan dan keterampilan meskipun dapat memperbaiki kualitas hidup penderita melalui penekanan gejala-gejala. Pengajaran kehidupan dan keterampilan sosial hanya mungkin didapat penderita melalui dukungan sosial keluarga. Dari penelitian didapat bahwa 45% penderita skizofrenia yang mendapat pengobatan antipsikotik akan mengalami kekambuhan dalam waktu 1 tahun pasca rawat, sedangkan penderita yang diberi plasebo 70% kambuh, (Kaplan dan Sadock , 2003).

Hal ini berarti pengobatan skizofrenia harus dilakukan dengan cara interaksi multidimensional. Gejala-gejala dan ketidakmampuan sosial serta ketidakmampuan individual yang di tunjukkan merupakan hasil dari benturan-benturan yang dialami dalam kehidupan. Angka kekambuhan dalam waktu 1 tahun pasca rawat pada penderita skizofrenia yang mendapat latihan keterampilan sosial adalah 20%, penderita yang mendapat pengobatan antipsikotik 41% dan 19% penderita yang pada keluarga diberikan psikoedukasi. Penderita yang mendapat latihan keterampilan sosial, obat antipsikotik dan psikoedukasi keluarga dilaporkan tidak ada yang kambuh, (Kaplan dan Sadock, 2003).



1 komentar:

komarudin mengatakan...

Istri saya alhamdulillah telah sembuh dari skizofrenia, sudah hampir 3 tahun tidak lagi minum obat dokter dan obat herbal. Istri saya menjalani terapi dengan konsumsi herbal enbepe (dari tanaman pegagan) dan lechitin (sari kedelai)ditambah juga terapi akunpuntur 1xseminggu. Lebih kurang 2 bulan menjalani terapi tersebut istri saya sudah kembali normal dan tidak mengalami gejala2 skizofrenia lagi.
Untuk mendapatkan enbepe, coba searching di google...pt natural nusantara (produsen dua herbal tersebut). Jika kesulitan coba herbal dengan merk lain yang komposisinya dominan pegagan (centela asiatica) dan/atau lechitin kedelai.
komarudin (081380323526)