Rabu, 03 Desember 2008

GAGAL GINJAL

GAGAL GINJAL AKUT
(Acute Renal Failure – Alih Bahasa, Harrison Principle of Internal Medicine 16th Edition)


Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom yang ditandai oleh adanya penurunan drastic pada glomerular filtration rate (jam sampai hari), retensi limbah metabolisme nitrogen, dan gangguan volume ekstraseluler dan homeostasis asam-basa. Persentasi GGA di rawat inap yaitu 5% dan 30% pada ICU. Oliguria (output urin < style=""> dibagi atas 3 kategori.

(1). Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi pada ginjal tanpa kerusakan integritas dari parenkim ginjal (GGA prerenal, prerenal azotemia) (~55%);

(2) Penyakit yang secara langsung melibatkan parenkim renal (GGA renal, renal azotemia) (~40%); dan

(3) Penyakit yang berhubungan dengan sumbatan pada saluran kemih (GGA postrenal, postrenal azotemia) (~5%).

Kebanyakan GGA reversible, ginjal termasuk organ yang relatif unik diantara organ yang lain dalam kemampuannya untuk sembuh dari fungsi yang menurun.Namun, GGA tetap juga merupakan morbiditas dan mortalitas utama dalam rumah sakit akibat beratnya penyakit penyebab GGA tersebut .

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

GGA PRERENAL (PRERENAL AZOTEMIA

GGA prerenal adalah bentuk paling sering dari GGA dan memberikan respon fisiologik berupa hipoperfusi renal ringan sampai sedang. GGA prerenal dapat reversible dengan cepat melalui restorasi aliran darah ginjal dan tekanan ultrafiltasi glomerulus. Jaringan parenkim ginjal tidaklah rusak; dengan demikian, ginjal dari individu dengan GGA prerenal berfungsi baik ketika dicangkok ke dalam para penerima dengan fungsi kardiovasculer yang normal. Hypoperfusion yang lebih berat dapat menyebabkan trauma iskemik dari parenkim ginjal dan Renal GGA ( lihat di bawah). Jadi, GGA prerenal dan GGA renal akibat ischemia menjadi bagian dari suatu spektrum hypoperfusion ginjal. GGA Prerenal dapat mempersulit penyakit apapun yang mempengaruhi hypovolemia, berhubungan dengan cardiac output yang rendah, vasodilatasi sistemik, atau vasokonstriksi selektif intrarenal.

Hypovolemia akan menyebabkan penurunan tekanan arterial sistemik, dimana dideteksi sebagai berkurangnya regangan arterial dan cardiac baroreseptor. Baroreceptor yang aktif memicu suatu respon neurohormonal yang dirancang untuk mengembalikan volume darah dan tekanan arterial. Ini meliputi pengaktifan dari sistem simpatik renin-angiotensin-aldosterone dan pelepasan arginine vasopressin (AVP; dahulu dikatakan sebagai Antidiuretik Hormone). Norepinephrine, angiotensin II, dan AVP berkolaborasi dalam usaha untuk menjaga perfusi otak dan jantung dengan merangsang vasokonstriksi pada sirkuit vaskuler "nonesensial", seperti musculocutaneous dan peredaran splanchnic, mencegah pelepasan natrium yang menghambat melalui keringat, merangsang haus, dan dengan memicu retensi natrium dan air. Perfusi glomerulus, tekanan ultrafiltrasi, dan tingkat filtrasi selama hypoperfusion yang ringan dijaga melalui beberapa mekanisme kompensasi. Reseptor regangan dalam arteriol afferent, sebagai respon atas suatu pengurangan tekanan perfusion, mencetuskan vasodilatasi arteriol afferent melalui suatu refleks myogenik lokal ( autoregulasi). Biosynthesis dari vasodilator prostaglandins ( e.g., prostaglandin E2 dan prostacyclin) juga ditingkatkan, dan campuran ini cenderung melebarkan arteriol aferen. Sebagai tambahan, angiotensin II cenderung menyebabkan vasokonstriksi arteriol eferen. Sebagai hasilnya, tekanan intraglomerular terjaga, fraksi plasma yang mengalir melalui kapiler glomerular yang tersaring akan ditingkatkan ( fraksi filtrasi), dan glomerular filtration rate (GFR) dipertahankan. Pada keadaan hypoperfusion yang lebih berat, respon kompensasi ini dapat gagal dan GFR menurun, dan mengarah kepada GGA prerenal

Autoregulasi dari dilatasi arteriol afferent maksimal pada tekanan arterial sistemik setinggi ~ 80 mmHg, dan hipotensi di bawah angka ini berhubungan dengan suatu kemunduran yang drastis dari GFR. Derajat hipotensi yang lebih rendah dapat menimbulkan GGA prerenal pada orang tua dan pada pasien dengan penyakit yang mempengaruhi integritas arteriol afferent (misal, hypertensive nephrosclerosis, vasculopathy diabetik). Sebagai tambahan, obat yang mempengaruhi respon adaptif pada microsirkulasi ginjal dapat merubah hypoperfusion ginjal terkompensasi menjadi GGA prerenal yang jelas atau memicu GGA prerenal menjadi GGA ischemic intrarenal. Obat-obat inhibitor dari baik biosintesis renal prostaglandin [ penghambat cyclooxygenase ; nonsteroidal antiinflamation drugs( NSAIDS)] atau inhibitor angiotensin-converting enzim (ACE Inhibitor) dan reseptor angiotensin II blockers adalah penyebab yang utama dan harus digunakan secara hati-hati pada keadaan yang dicurigai dapat terjadi hipoperfusi ginjal. NSAIDS tidak mempengaruhi GFR pada individu yang sehat tetapi dapat mempercepat GGA prerenal pada pasien dengan penurunan volume cairan atau pada insufisiensi renal kronis dimana GFR terjaga oleh hiperfiltrasi yang dimediasi prostaglandin oleh nefron fungsional yang terisa. penghambat ACE harus digunakan dengan bijaksana pada pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral atau stenosis unilateral dimana hanya satu ginjal yang berfungsi. Pada keadaan ini, perfusi dan filtrasi glomerular sangat dipengaruhi oleh angiotensin II. Angiotensin II memelihara tekanan filtrasi glomerular distal ke stenosis dengan peningkatan tekanan arterial systemic dan dengan mencetuskan konstriksi selektif pada arteriol. Penghambat ACE dapat memperlambat respon ini dan mempercepat GGA, namun umumnya reversibel, pada ~30% kasus.

Hepatorenal Syndrome ini adalah suatu bentuk agresif dari GGA, dengan banyak bentuk dari GGA prerenal, yang sering mempersulit kegagalan hepatik akibat cirrhosis atau penyakit hati berat lainnya, mencakup keganasan, reseksi hepatik, dan obstruksi bilier. Pada sindrom hepatorenal yang berat, GGA berkembang walaupun telah terjadi optimisasi hemodinamika sistemik dan memiliki tingkat kematian sebesar >90%.

GGA INTRINSIC RENAL (INTRINSIC RENAL AZOTEMIA)

GGA renal dapat mempersulit beragam penyakit berbeda pada parenkim ginjal itu sendiri. Dari sudut pandang klinikopathologis, dapat berguna untuk membagi penyebab GGA renal ke dalam (1) penyakit dari pembuluh darah besar ginjal, (2) penyakit dari mikrosirkulas ginjal dan glomeruli, (3) GGA ischemic dan akibat nephrotoxic, dan (4) radang tubulointerstitial. GGA renal paling sering dicetuskan oleh ischemia ( GGA yang ischemic) atau nephrotoxins ( GGA yang nephrotoxic), yang secara sederhana menimbulkan acute tubular necrosis ( ATN). Maka, pada umumnya penggunaan istilah GGA dan ATN dapat dipertukarkan pada keadaan seperti ini. Bagaimanapun, sebanyak 20 sampai 30% dari pasien dengan GGA ischemic atau nephrotoxic tidak mempunyai tanda klinis atau bukti morphologis dari nekrosis tubuler, menggarisbawahi peran dari trauma sublethal pada epithelium tubuler dan kerusakan lain pada sel ginjal yang lain ( misal,sel endothelial ) pada pathophysiology dari sindrom ini.

Etiologi and Pathophysiologi GGA iskemik .

GGA prerenal dan GGA iskemik menjadi bagian dari spektrum bentuk hipoperfusi ginjal. GGA iskemik berbeda dengan GGA prerenal dalam arti bahwa hipoperfusi memicu trauma ischemic pada sel parenkim ginjal, terutama epithelium tubuler, dan penyembuhan biasanya memerlukan 1 sampai 2 minggu setelah normalisasi perfusi ginjal sebagaimana diperlukan regenerasi dan perbaikan sel ginjal. Dalam bentuk paling ekstrim nya, ischemia mengarah kepada bilateral nekrosis korteks renal dan gagal ginjal irreversibel. GGA iskemik terjadi paling sering pada pasien yang menjalani operasi kardiovasculer besar atau menderita trauma yang berat, perdarahan, sepsis, dan/atau kekurangan cairan tubuh. GGA iskemik dapat juga mempersulit bentuk ringan hypovolemia yang nyata atau penurunan efektifitas volume arterial darah jika terjadi bersamaan dengan trauma lainnya (misal, nephrotoxins atau sepsis) atau pada pasien dengan mekanisme pertahanan autoregulator yang menurun atau dengan riwayat penyakit ginjal sebelumnya.

Keadaan GGA iskemik ditandai oleh tiga fase: inisiasi, pemeliharaan, dan tahap penyembuhan. Tahap inisiasi ( jam sampai hari) adalah periode awal dari hipoperfusi ginjal terjadi selama trauma iskemik sedang berkembang. GFR merosot sebab (1) tekanan ultrafiltrasi glomerular dikurangi sebagai konsekwensi dari rendahnya aliran darah ginjal, (2) aliran saringan glomerulus di dalam tubulus dihalangi oleh serpihan-serpihan yang terdiri atas sel epithelial dan bekas limbah nekrotik yang berasal dari tubulus dan epithelium, dan adanya kebocoran filtrasi glomerular melalui luka epithelium tubuler. Trauma iskemik adalah paling sering pada bagian terminal meduler dari proximal tubule ( Segmen S3, pars recta) dan bagian meduler dari ascending loop of Henle. Kedua segmen mempunyai tingkat transpor aktif larutan dan konsumsi oksigen yang tinggi dan terletak pada area ginjal yang rentan ischemic, meski dalam kondisi-kondisi basal, oleh pengaturan aliran balik yang unik pada vasculatur meduler. Iskemik seluler mengakibatkan satu rangkaian perubahan transpor ion dan integritas membran yang pada akhirnya mengarah pada trauma sel dan, jika berat dapat menyebabkan apoptosis dan nekrosis sel

Perubahan ini meliputi penghabisan ATP, inhibisi pengangkutan sodium aktif dan transpor larutan lainnya, kerusakan dari regulasi sel dan pembengkakan sel, gangguan cytoskeletal dan hilangnya polaritas sel, pemasangan matriks-sel dan sel-sel, akumulasi kalsium intracellular, perubahan metabolisme phospholipid, pembentukan radikal oksigen bebas, dan peroxidasi membran lipids. Sangat penting trauma ginjal dapat diatasi dengan pengembalian alirah darah ginjal selama periode ini.

Tahap inisiasi dilanjutkan oleh suatu tahap pemeliharaan ( biasanya 1 sampai 2 minggu). selama sel ginjal yang trauma dibentuk kembali, GFR menstabilkan pada titik terendah nya (umumnya 5 sampai 10 mL/min), keluaran urin paling rendah, dan komplikasi uremik muncul. Alasan mengapa GFR tetap rendah selama tahap ini walaupun dengan koreksi dari hemodinamika sistemik belum dapat dijelaskan. Mekanisme yang dipercayai meliputi vasoconstriction intrarenal persisten dan ischemia meduler dicetuskan oleh pelepasan mediator vasoaktif yang tidak teregulasi akibat kerusakan sel endothelial ( e.g., penurunan nitritoxide, peningkatan endothelin-1, adenosine, dan platelet-activating factor), kongesti pembuluh darah meduller, dan trauma reperfusion yang dipicu oleh sejenis oksigen reaktif dan mediator lain yang berasal dari leukocytes atau sel parenkim ginjal. Sebagai tambahan, sel epithelial yang cedera per se dapat berperan dalam vasokonstriksi persiten melalui suatu proses yang disebut umpan balik tubuloglomerulal. Sel epitel khusus pada daerah macula densa pada tubulus distal mendeteksi peningkatan transport natrium yang terjadi sebagai konsekuensi dari kerusakan reabsorbsi dari segmen proximal nefron. Sel macula densa kemudian merangsang konstriksi dari arteriol aferen sekitar dengan mekanisme yang kurang dimengerti dan kemudian mengurangi perfusi glomerular dan filtrasinya, sehingga memperparah keadaan. Fase penyembuhan ditandai dengan perbaikan dan regenerasi dari sel parenkim ginjal, terutama sel epitel tubuler dan secara perlahan GFR menjadi normal atau kembali pada kadar premorbid. Fase penyembuhan ini dapat dipersulit oleh adanya peningkatan fase diuretik akibat eksresi dari natrium , air, dan larutan lain yang tadinya tertahan, penggunaan lanjut dari diuretic, atau terlambatnya fungsi sel epitel (untuk reabsorbsi larutan dan air)

Patofisiologi dan Etiologi GGA Nephrotoksik

GGA renal intrinsic akut dapat terjadi akibat paparan berbagai agen farmakologik. Paling banyak yaitu nephrotoxins, insiden GGA meningkat pada lanjut usia dan pasien dengan insufisiensi ginjal kronis, hypovolemia nyata atau papararan terhadap toxin yang lain

Vasokonstriksi intrarenal merupakan kejadian awal pada GGA yang dipicu oleh radiocontrast, siklosporin, dan tacrolimus. Sehubungan dengan patofisiologi ini, agen tersebut memicu GGA yang memiliki kemiripan dengan GGA prerenal: yaitu penurunan akut dari aliran darah ginjal dan GFR­2, sedimen urin yang relatif ringan, dan eksresi natrium yang rendah. Kasus berat dapat memperlihatkan bukti klinis atau patologik dari adanya ATN(3). Nefropati toksik akibat zat kontras umumnya memperlihatkan peningkatan akut (onset 24-48 jam) dari BUN dan kreatinin namun reversibel (resolusi dalam 1 minggu) dan paling umum terjadi pada individu dengan insufisensi renal kronik, DM, CHF, hipovolemik, atau myeloma multipel. Sindrom ini sepertinya terkait dengan dosis dan insidennya sedikit berkurang pada individu resiko tinggi dengan memakai agen kontras yang lebih mahal, nonionik kontras

Toksisitas langsung terhadap sel epitel tubuler dan atau obstruksi intratubuler adalah kejadian patofisiologis utama pada GGA yang disebabkan oleh antibiotik dan antikanker. Zat yang sering merusak adalah agen antimicrobial seperti acyclovir, foscarnet, aminoglikosida, amphotericin B, dan pentamidini, dan agen kemoterapi seperti cisplatin, carboplatin, dan ifosfamide. GGA terjadi pada 10 sampai 30% penggunaan aminoglikosida walaupun dengan kadar terapeutik. Amfoterisin B menyebabkan GGA- terkait dosis melalui vasokonstriksi intrarenal dan toksisitas langsung pada epitel tubulus. Cisplatin dan carboplatin seperti aminoglikosida terkumpul oleh sel tubulus proksimalis dan memprovokasi GGA setelah 7 hingga 10 hari dari paparan dengan cara merusak mitokondria, inhibisi dari aktivitas ATPase, transpor larutan, trauma yang dimediasi radikal bebas terhadap membran sel, apoptosis, dan nekrosis

Nephrotoxin endogen yang paling umum adalah kalsium, myoglobin, hemoglobin, urat, oxalate, dan myeloma rantai ringan. Hyperkalsemia dapat menurunkan GFR(2), kebanyakan dengan memicu vasokonstriksi intrarenal. Deposisi kalsium fosfat didalam ginjal juga berkontribusi. Rhabdomyolisis dan hemolisis dapat memicu GGA, umumnya pada pasien dengan hipovolemik atau asidosis. Myoglobinuric GGA terjadi kurang lebih 30% kasus dari rhabdomyolisis. Kasus umum ini termasuk cedera trauma tabrakan, iskemia otot akut, kejang, olahraga berlebihan, heat stroke, atau gangguan metabolisme. GGA akibat hemolisis biasanya jarang dan diperlihatkan dari reaksi pada transfuse darah yang massif. Telah menjadi postulat bahwa myoglobin dan hemoglobin atau komponen lain yang dilepaskan oleh otot atau sel darah merah menimbulkan GGA melalui efek toksik pada sel epitel tubuler, dengan mempromosi stress oksidatif pada intrarenal dan dengan memicu pembentukan serpihan padat intratubuler. Hipovolemia atau asidosis dapat berkontribusi pada patogenesis GGA dalam keadaan ini dengan pembentukan serpihan padat intratubuler.

Sebagai tambahan, hemoglobin dan myoglobin adalah penghambat yang kuat dari bioactivitas nitrit-oxide dan dapat mencetuskan vasokonstriksi intrarenal dan inskemik pada pasien dengan hypoperfusion ringan. Serpihan padat intratubuler ini mengandung immunoglobulin rantai ringan dan protein lainnya, termasuk Tamm-Horsfall protein yang diproduksi oleh sel thick ascending limb , yang merupakan pemicu utama terjadinya GGA pada pasien dengan multiple (myeloma cast nephropathy). Sebagai tambahan, rantai ringan dapat secara langsung menjadi racun untuk sel epithelial tubuler. Obstruksi intratubuler juga merupakan sebab penting terjadinya GGA pada pasien dengan hyperuricosuria atau hyperoxaluria. Nephropati asam urat akut biasanya muncul pada pengobatan gangguan lymphoproliferative atau myeloproliferative namun lebih sering terjadi akibat hyperurisemia jika urin terkonsentrasi.

Pathologi dari GGA Iskemik (1)

Gambaran patologis klasik dari GGA iskemik yaitu nekrosis fokal dari epitel tubuler dengan adanya pelepasan dari membran dasarnya dan oklusi lumen tubulus oleh serpihan padat yang terbentuk dari sel epitel yang degenerasi, debris seluler, Tamm-Horsfall mucoprotein, dan pigmen. Akumulasi lekosit juga sering telrihat pada vasa recta, namun morphologis dari glomeruli dan vasculature ginjal biasanya normal. Necrosis paling parah terlihat pada bagian pars recta dari tubulus proksimalis namun dapat juga terdapat pada bagian meduler dari thick ascending limb pada loop of Henle.

Pada GGA nephrotoksik, perubahan morfologis cenderung terlihat jelas baik pada convoluted dan pars recta tubulus proksimalis. Nekrosis sel tubuler lebih jarang terlihat dibandingkan GGA iskemik.

Penyebab lain GGA Renal.

Pasien dengan atherosclerosis berat dapat mengalami GGA setelah manipulasi aorta atau arteri renalis pada saat operasi atau angiography, setelah suatu trauma, atau yang lebih jarang, adanya embolisasi kristal kolesterol pada pembuluh darah ginjal (atheroembolic GGA). Kristal kolesterol tersumbat di dalam lumen arteri berukuran kecil atau sedang. Kemudian memicu reaksi sel giant dan reaksi fibrosis di dalam dinding pembuluh darah dengan penyempitan atau penyumbatan dari lumen pembuluh darah. Atheroembolic GGA biasanya ireversibel.

Sangat banyak struktur agen pharmalogis yang memicu GGA akibat reaksi hipersensitivitas berupa interstitial nephritis, suatu penyakit yang ditandai dengan adanya infiltrate pada tubulointerstritium berupa granulosit (biasanya namun tidak selalu, eosinophils), makrofag, dan/atau limfosit dan dengan interstitial oedema. Obat yang tersering adalah antibiotic seperti penicillins, cephalosporins, trimethoprim, sulfonamides, rifampicin dan NSAID (4)

GGA POSTRENAL

Prevalensi bstruksi saluran kemih sebagai penyebab GGA kurang dari 5% kasus GGA. Hal ini dikarenakan ginjal mempunyai kapasitas klirens untuk mengeksresi produk limbah nitrogenous setiap harinya, GGA akibat obstruksi hanya terjadi jika terdapat sumbatan aliran urin dari urethral meatus externum dan kandung kemih, obstruksi bilateral ureter, atau sumbatan ureter unilateral pada pasien dengan 1 ginjal yang berfungsi.Obstruksi buli-buli merupakan sebab umum terjadinya GGA postrenal dan biasanya disebabkan oleh penyakit prostate (seperti Bengn Prostat Hypertrophy, tumor, atau infeksi). Penyebab yang lebih jarang yaitu obstruksi saluran kemih bagian bawah termasuk bekuan darah, calculus, dan urtheritis disertai spasme. Obstruksi ureter dapat disebabkan oleh obstruksi intraluminal (kalkulus), infiltrasi dinding ureter (neoplasia) atau kompresi eksternal (retroperitoneal fibrosis, neoplasia, atau abses) Selama tahap awal obstruksi (jam sampai hari), filtrasi glomerulus yang berkontinu akan meningkatkan tekanan intraluminal di atas dari lokasi obstruksi. Sebagai hasilnya, terjadi distensi berangsur dai ureter proksimal, renal pelvis, dan calyces, dan penurunan pada GFR(2). Obstruksi akut mulanya berkaitan dengan peningkatan ringan aliran darah ginjal namun vasokonstriksi arteriolar segera terjadi mendadak, mengarahkan pada penurunan filtrasi glomerulus lebih lanjut.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Pasien yang datang dengan gagal ginjal sebaiknya segera diniliai untuk menentukan penurunan pada GFR apakah perjalanannya akut atau sudah kronis. Proses akut dengan mudah ditentukan jika pemeriksaan laboratorium sebelumnya memperlihatkan peningkatan dari kadar blood ureum nitrogen dan creatinin, namun pengukuran sebelumnya tidak selalu tersedia. Penemuan yang memperlihatkan keadaan gagal ginjal kronis termasuk anemia, neuropati, dan bukti radiologis adanya osteodistrophi ginjal atau ginjal berukuran kecil dengan jaringan parut. Namun, harus diketahui bahwa anemia juga dapat ditemukan pada GGA dan ukuran ginjal normal arau lebih sedikit besar dibandingkan ginjal pada beberapa penyakit ginjal kronis (nephropaty diabetic, amyloidosis, dan polycystic kidney disease). Setelah diagnosis GGA ditegakkan, beberapa hal perlu ditentukan segera: (1) identifikasi penyebab dari GGA, (2) eliminasi dari zat-zat pemicu (nephrotoxin) dan/atau prosedur terapi spesifik dan (3) pencegahan dan penatalaksanaan komplikasi uremik.

PENILAIAN KLINIS

Petunjuk klinis pada GGA prerenal adalah gejala kehausan dan pusing pada saat berdiri tegak dan bukti pemeriksaan fisis berupa adanya hipotensi orthostatic dan tachycardia, penurunan tekanan vena jugularis, penurunan turgor kulit, membrane mukosa yang kering, dan berkurangnya keringat pada aksiler. Riwayat adanya penurunan progresif dari produksi urin dan berat badan serta riwayat penggunaan NSAID (4) , ACE Inhibitor (5), atau angiotensin reseptor blocker. Dari pemeriksaan klinis secara seksama akan dapat terlihat stigmata dari penyakit hati kronis dan hipertensi portal, gagal jantung, sepsis, atau penyebab lain yang mengurangi volume darah arterial efektif

GGA renal akibat iskemik biasanya terjadi setelah adanya hipoperfusi ginjal berat akibat hipovolemic atau septic shock atau setelah operasi besar. Kemungkinan GGA iskemik akan dapat berkembang lebih jauh jika GGA menetap walaupun terdapat normalisasi hemodinamika sistemik. Diagnosis dari GGA akibat nephrotoxic membutuhkan peninjauan terhadap data klinis, farmakologis, perawatan, dan riwayat radiology sebagai suatu bukti terhadap paparan dari pengobatan nephrotoxin atau agen radiokontras atau terhadap toxin endogen (myoglobin, hemoglobin, asam urat, protein myeloma, atau peningkatan kalsium dalam serum).

Walaupun persentasi GGA iskemik dan nephrotoxic 90% dari kasus GGA renal, penyakit parenkim ginjal yang lain juga patut dipertimbangkan. Nyeri pinggul juga merupakan gejala umum akibat adanya oklusi dari arteri atau vena ginjal dan dengan penyakit parenkim ginjal yang membuat kapsul ginjal distensi (glomerulonephritis berat dan pyelonephritis). Nodul subcutaneous, livedo retikularis, plaq oranye retinal arteriolar, nadi kaki yang teraba merupakan tanda dari adanya atheroembolization. GGA yang berhubungan dengan oligouria, edema, hipertensi, dan sediment urin ‘aktif’ (sindrom nefritik) menunjukkan adanya glomerulonephritis atau vaskulitis. Hipertensi malignan sepertinya juga penyebab GGA pada pasien dengan hipertensi yang berat dan bukti adanya kerusakan akibat hipertensi pada organ lain (left ventricular hypertrofi, retinopati hipertensif, papiledema, atau gangguan neurologist). Demam, arthralgia, dan bercak eritematous yang gatal terjadi setelah paparan obat yang menyebabkan adanya interstitial nephritis allergic, walaupun tanda dari hipersensitivitas sistemik biasanya tak muncul

GGA postrenal memperlihatkan gejala nyeri pada suprapubik dan pinggul akibat distensi dari buli-buli dan pada saluran pengumpulan urin di ginjal serta kapsul ginjal. Nyeri kolik pinggul yang dapat merambat ke pangkal paha menunjukkan suatu obstruksi akut ureter. Penyakit prostat diduga jika terdapat riwayat nokturia, frekuensi, dan hesitansi serta pembesaran atau indurasi dari prostate pada pemeriksaan rectal. Neurogenik bladder dicurigai terjadi pada pasien yang mngkonsumsi obat-obatan antikolinergik atau adanya bukti klinis disfungsi autonom. Diagnosis definitif dari GGA postrenal sangat bergantung pada investigasi radiologik dan respon penyembuhan yang cepat setelah hilangnya sumbatan.

URINALYSIS

Anuria memberi informasi adanya sumbatan total namun dapat merupakan penanda beberapa kasus GGA prerenal dan renal. Output urin yang berfluktuasi menimbulkan kemungkinan adanya obstruksi intermitten dimana terdapat pasien dengan obstruksi saluran kemih parsial mengalami poliuria akibat gangguan mekanisme mengkonsentrasi urin.

Pada GGA prerenal, sediment bersifat aseluler dan mengandung serpihan hyaline transparan (urin sediment “jinak, “inaktif”, dan “lemah”). Serpihan jyalin terbentuk pada urin yang tekonsentrasi dari unsur normal pembentuk urin – utamanya protein Tamm-Horsfall, dimana disekresi oleh sel epithelial dari Loop of henle. Terdapat juga GGA postrenal dengan sediment inaktif, walaupun hematuria dan pyuria umum pada pasien dengan obstruksi intralumen atau penyakit prostat serpihan berpigmen “coklat lumpur” dan serpihan yang mengandung sel epitel tubulus adalah tanda dari ATN (6) dan dapat juga menunjukkan adanya GGA iskemik atau nefrotoksik. Serpihan ini biasanya ditemukan berkaitan dengan hematuria mikroskopik atau pada proteinuria “tubuler” ringan (<1g/dl). style=""> serpihan granuler yang umum adalah ciri dari penyakit ginjal kronis dan kemungkinan menunjukkan adanya fibrosis interstitial dan dilatasi tubulus. Jika dilakukan dengan pewarnaan Hansel’s, eosinophilria (>5% dari leukosit) umum ditemukan (~90%) pada nephritis interstitial allergic yang disebabkan oleh antibiotic. Tetapi lymphosit lebih dominant pada nephritis interstitial allergic akibar NSAIDs. Eosinophilluria merupakan tanda dari GGA atheroembolic. Kristal asam urat sering ditemukan pada urin terkonsentrasi pada GGA prerenal namun juga menunjukkan adanya nephropaty urat akut jika ditemukan dalam jumlah yang besar. Kristal oxalat dan hippurat meningkatkan kemungkinan keracunan ethylene glycol.

Proteinuria dengan >1 g/dl memberitahukan adanya kerusakan pada glomerular ultrafiltration barrier (proteinuria glomerular) atau eksresi dari myeloma rantai ringan. Yang terakhir tidak terdeteksi dengan dipstick biasa (yang mendeteksi albumin) dan harus direndam di asam sulfosalisilat atau tes immunoelectrophoresis. Proteinuria berat juga sering ditemukan (~80%) pada pasien yang mengalami interstitial nephritis allergic dan glomerulopathy kelainan minimal jika mengkonsumsi NSAIDs. Keadaan serupa dapat dipicu oleh pemberian ampicilin, rifampisin, atau interferon A. Hemoglobinuria atau myoglobunuria harus dipertimbangkan jika tes dipstick menunjukkan positif kuat pada heme namun mengandung sedikit sel darah merah dan jika supernatant dari urin yang tersentrifugal positif heme bebas. Bilirubinuria memberikan petunjuk akan adanya sindrom hepatorenal.

TANDA KEGAGALAN GINJAL

Analisis urin dan kimia darah sangat penting untuk membedakan antara GGA prerenal dan GGA iskemik dan nephrotoksik yang merupakan GGA renal. Fraksi eksresi sodium (FENa) paling berguna dalam hal ini. FENa menghubungkan antara klirens natrium terhadap klirens kreatinin. Natrium banyak direabsorbsi oleh filtrasi glomerulus pada pasien dengan GGA prerenal sebagai usaha untuk mempertahankan volume intravaskuler tetapi tidak pada GGA renal akibat adanya kerusakan dari sel epitel tubulus. Kontrasnya, kreatinin tidak di reabsorbsi pada kedua keadaan tersebut. Konsekuensinya, pasien dengan GGA prerenal biasanya mempunyai kadar FENa <1%>1% indeks kegagalan ginjal memperlihatkan perbandingan informasi karena variasi klinis dari konsentrasi natrium serum relative kurang. Konsentrasi natrium pada urin kurang sensitive untuk membedakan antara GGA prerenal dari GGA iskemik dan nephrotoksik dikarenakan nilai yang sama pada keduanya. Tidak jauh beda, indikator kemampuan mengkonsentrasikan urin seperti berat jenis, osmolalitas, rasio urea urin-plasma, dan rasio ureum-kreatinin, informasinya terbatas untuk menentukan differensial diagnosis

Perhatian lebih diberlakukan jika terdapat informasi kimiawi atas kegagalan ginjal. FENa dapat >1% pada GGA prerenal jika pasien mengkonsumsi diuretik, bicarbonaturia (bersamaan dengan natrium untuk mempertahankan electronetralitas), gagal ginjal kronis yang dipersulit oleh natrium wasting, atau insufisiensi adrenal. Kontrasnya, FENa <1%>

LABORATORIUM

Pengukuran kreatinin serum berulang dapat memberikan informasi penyebab GGA. GGA prerenal ditandai dengan kadar berfluktuasi yang parallel dengan perubahan fungsi hemodinamik. Kreatinin meningkat drastis (24 sampai 48 jam) pada pasien dengan GGA akibat iskemik, atheroembolisasi, dan paparan kontras radiologik. Kadar kreatinin puncak dapat terlihat setelah 3 sampai 5 hari pada nephropati kontras dan kembali pada kadar dasar setelah 5 sampai 7 hari. Sebaliknya, pada GGA iskemik dan penyakit atheroembolic, kadar kreatinin mencapai puncak setelah 7 sampai 10 hari. Peningkatan awal kreatinin serum biasanya muncul setelah 2 minggu terapi aminoglikosida dan cisplatin dan kemungkinan menunjukkan dibutuhkannya akumulasi zat ini dalam sel sebelum GFR menurun

Hyperkalenia, hyperphospatenia, hypocalcemia, dan peningkatan asam urat serum dan kadar kreatinin kinase menunjukkan diagnosis rhabdomyolisis. Hyperuricemia [>890 umol/L (>15 mg/dL)] yang berkaitan dengan hyperkalemia, hyperphosphatemia, dan peningkatan kadar peredaran enzim intraseluler seperti laktat dehidrogenase mengindikasikan adanya nephropaty urat akut dan tumor lysis syndrome setelah menjalani kemoterapi. Anion serum dan osmolal gap yang luas (osmolalitas serum terukur dikurangi dengan osmolaltas serum yang dihitung dari konsentrasi natrium, glukosa, dan ureum) mengindikasikan adanya anion atau osmole yang tidak biasanya dalam sirkulasi dan merupakan tanda dari keracunan ethylene glycol atau methanol. Anemia berat tanpa disertai perdarahan meningkatkan kemungkinan adanya hemolisis, multiple myeloma, atau microangiopathi trombotik. Eosinofilia sistemik menandakan adanya nephritis interstitial allergic dan juga tanda penyakit atheroembolic dan polyangiitis nodosa.

PENEMUAN RADIOLOGIK

Pencitraan saluran kemih dengan USG sangat berguna menyingkirkan diagnosis GGA postrenal. CT-Scan dan MRI merupakan modalitas alternative yang dapat digunakan. Dimana dilatasi pelvicaliceal sering terjadi pada obstruksi saluran kemih (~98% sensitivitas), dilatasi dapat tidak ditemukan pada permulaan obstruksi dan pada penekanan diluar sistem ureter (missal pada fibrosis retriperitoneal dan neoplasia). Retrograde pyelography adalah investigasi yang lebih definitive pada kasus yang kompleks dan memberikan lokalisasi spesifik lokasi obstruksi. Foto polos abdomen, dengan tomography jika perlu, adalah teknik skrining awal pada pasien yang dicurigai mempunyai batu saluran kemih. USG Doppler dan magnetic resonance angiography berguna untuk menilai keadaan arteri dan vena ginjal pada pasien yang dicurigai adanya obstruksi vaskulet, bagaimanapun angiographi dengan kontras biasanya dibutuhkan untuk diagnosis definitif.

BIOPSI GINJAL

Biopsi hanya dilakukan pada keadaan dimana kemungkinan diagnosis GGA postrenal dan prerenal telah disingkirkan dan penyebab dari GGA renal belum diketahui. Biopsi ginjal penting pada saat pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan diagnosis selain trauma iskemik atau nephrotoksik yang kemudian dapat menjadi pedoman terapi khusus untuk penyakit tersebut. Misalnya glomerulonephritis, vasculitis, sindrom hemolitik-uremik, purpura thrombotik thrombositopenia, dan interstitial nephritis allergic.

KOMPLIKASI

GGA mengganggu eksresi natrium, kalium, dan air dan merusak homeostasis divalensi kation serta mekanisme pengasaman urine. Akibatnya, GGA sering mempersulit volume overload pada intravaskuler, hyponatremia, hyperkalemia, hyperphosphatemia, hypocalcemia, hypermagnesemia, dan asidosis metabolik. Sebagai tambahan, pasien tidak dapat mengeskresi produk limbah nitrogen dan cenderung terkena syndrome uremik. Kecepatan dari perkembangan dan keparahan dari komplikasi ini memperlihatkan derajat kerusakan ginjal dan keadaan katabolisme dari pasien.

Ekspansi volume cairan extraseluler merupakan suatu konsekuensi mutlak dari berkurangnya eksresi air dan natrium pada pasien anuria atau oligouria. Dimana bentuk yang lebih ringan ditandai dengan peningkatan berat badan, rales paru, peningkatan tekanan vena jugular, dan edema. Ekspansi volume berkelanjutan dapat mempresipitasi edema pulmoner yang berbahaya. Hypervolemia dapat menjadi dilemma pada pasien yang sedang menjalani pengobatan intravena dan nutrisi enteral atau parenteral. Pemberian berlebihan air baik dengan cara biasa maupun dengan nasogastrik tube dan pemberian intravena larutan hipotonik atau larutan dekstrose isotonic dapat menyebabkan hipoosmolaliti dan hiponatremia, dimana jika parah dapat menyebabkan edema serebral dan abnormalitas neurologis termasuk kejang.

Hyperkalemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGA. Serum kalium biasanya meningkat 0,5 mmol/L per hari pada pasien anuri/oligouri akibat gangguan eksresi kalium yang diinfus dan kalium yang dilepaskan dari jaringan yang cedera. Asidosis metabolik yang telah ada sebelumnya dapat mengeksaserbasi hiperkalemia karena adanya effluks kalium dari sel. Hyperkalemia dapat menjadi parah, bahkan pada saat diagnosis pasien rhabdomyolisis, hemolisis, dan tumor lysis syndrome. Hyperkalemia ringan (<6.0>

Metabolisme dari asupan protein memberikan 50 hingga 100 mmol/hari asam nonvotil yang secara normal dieksresi oleh ginjal. Konsekuensinya GGA juga biasanya disertai dengan komplikasi asidosis metabolik, sering dengan peningkatan serum anion gap. Asidosis dapat menjadi parah jika produksi endogen dari ion hidrogen meningkat akibat mekanisme lainnya (misalnya ketoasidosis diabetik, laktat asidosis akibat hipoperfusi jaringan, penyakit hati, sepsis, atau metabolisme ethylene glycol dan methanol.

Hiperphospatemia ringan adalah komplikasi tersering dari GGA. Hiperphospatemia berat dapat berkembang pada pasien dengan katabolisme tinggi atau setelah rhabdomyolysis, hemolysis, atau tumor lysis. Deposisi metastatik dari kalsium fosfatase dapat menyebabkan hipocalcemia, terlebih jika kadar konsenstrasi kalsium dan fosfat melebihi 70 mg/dL. Faktor lainnya yang berkontribusi pada hipocalcemia termasuk resistensi jaringan terhadap pengaruh hormon paratirhoid dan penurunan kadar 1,25-dihydroxyvitamin D. Hypocalcemia biasanya asimptomatis namun dapat menyebabkan paresthesia perioral, keram otot, kejang, halusinasi, dan perubahan berkepanjangan dari T-wave serta QT interval pada pemeriksaan EKG

Anemia berkembang secara cepat pada GGA dan umumnya ringan serta terjadi akibat banyak faktor. Faktor yang berkontribusi yaitu gangguan eritropoesis, hemolisis, perdarahan, hemodilusi, dan menurunnya umur sel darah merah. Memanjangnya waktu perdarahan dan leukositosis juga umum. Infeksi merupakan komplikasi berat dan umum GGA yang terjadi pada 50 hingga 90% kasus GGA dan 75% menyebabkan kematian. Belum jelas apakah pasien dengan GGA memiliki defek klinis signifikan pada respon imun atau adanya peningkatan insidens infeksi akibat adanya kerusakan berulang pada barier mukokutan (contoh pada kanul intravena, ventilasi mekanik, kateter saluran kemih. Komplikasi kardiopulmoner pada GGA termasuk arrhythmias, myocardial infarction, pericarditis dan efusi pericardial, edema pulmoner, dan emboli pulmoner. Perdarahan gastrointestinal ringan juga dapat ditemukan (10 sampai 30% ) dan biasanya akibat stress ulser pada mukosa lambung atau usus halus.

GGA berat yang berkepanjangan akan dapat berkembang menjadi sindrom uremik

Diuresis aktif dapat terjadi selama fase penyembuhan GGA, dapat juga, pada beberapa keadaan, menyebabkan penurunan volume intravaskuler dan lambatnya penyembuhan GFR. Hipernatremia dapat juga menjadi komplikasi pada fase penyembuhan jika pengeluaran cairan melalui urin hipotonik tidak digantikan secara tepat dengan larutan saline hipertonik. Hypokalemia, hypomagnesemia, hypophosphatemia, dan hypocalcemia adalah komplikasi metabolik yang lebih jarang pada fase ini

PENGOBATAN

Pencegahan

Karena tidak ada terapi spesifik untuk GGA iskemik dan nephrotoksik, pencegahan merupakan hal yang paling penting. Bayak kasus GGA iskemik dapat dihindari dengan adanya perhatian lebih tinggi pada fungsi kardiovaskuler, seperti pada pasien beresiko tinggi seperti lansia dan seseorang yang telah memiliki insufisiensi renal sebelumnya. Restorasi agresif volume intravaskuler telah menunjukkan penurunan dramatis terhadap insiden GGA iskemik setelah terjadinya operasi mayor atau pada trauma berat dan luka bakar. Insiden GGA nephrotoxic dapat diturunkan dengan penyesuaian obat nephrotoksik terhadap ukuran badan dan GFR. Sebagai contoh, mengurangi dosis atau frekuensi pemakian obat pada pasien yang memiliki kerusakan ginjal sebelumnya. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa kadar kreatinin serum relative kurang sensitive untuk mengetahui GFR dan dapat terlihat lebih tinggi pada pasien berukuran kecil atau pada lansia. Untuk tujuan menentukan dosis obat, sangat dianjurkan untuk menggunakan formula Cockcroft-Gault dimana faktor berat badan dan umur mempengaruhi hasilnya. Menyesuaikan dosis obat berdasarkan kadar obat yang bersirkulasi juga sepertinya mengurangi resiko cedera di ginjal pada pasien yang mengkonsumsi antibiotik aminoglycoside, cyclosporine, or tacrolimus. Diuretics, cyclooxygenase inhibitors, ACE8 inhibitors, angiotensin II receptor blockers, dan vasodilator lainnya harus digunakan dengan perhatian lebih pada pasien yang dicurigai memiliki hypovolemia yang nyata atau penyakit renovaskuler karena zat-zat ini dapat merubah GGA prerenal menjadi GGA iskemik di masa depan. Allopurinol dan diuresis alkaline berguna sebagai profilaksis pada pasien dengan beresiko tinggi terkena nephropati asam urat akut (misalnya pada kemoterapi kanker hematologik) dengan cara membatasi pembentukan asam urat dan mencegah presipitasi kristal urat pada tubulus ginjal. Provokasi diuresis alkalin dapat juga mencegah atau mengurangi GGA pada pasien yang mengkonsumsi methotrexat dosis tinggi atau menderita rhabdomyolisis. N-acetylcysteine membatasi cedera ginjal yang disebabkan oleh acetaminophen jika diberikan 24 jam pertama setelah asetaminofen dikonsumsi. Ethanol menghambat metabolisme ethylene glycol menjadi asam oxalic dan hasil metabolit toksik lainnya dan merupakan tambajan penting pada hemodialisis pada penanganan kegawatdaruratan intoksikasi ethylene glycol.

Terapi spesifik

Pada dasarnya, GGA prerenal dapat reversible secara cepat setelah memperbaiki abnormalitas hemodinamika primer dan GGA postrenal dapat disembuhkan setelah obstruksi dihilangkan. Sampai sekarang, tidak ada terapi spesifik untuk GGA renal karena iskemik atau nephrotoxic. Penanganan terhadap kelainan ini berfokus pada menghilangkan penyebab abnormalitas hemodinamika, menghindari paparan lanjutan dari toxin, dan pencegahan serta penanganan komplikasi. Terapi spesifik GGA renal yang disebabkan oleh keadaan lainnya tergantung patologis penyebab.

GGA PRERENAL.

Komposisi dari terapi penggantian cairan pada GGA prerenal akibat hipovolemia harus menyesuaikan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemi berat akibat perdarahan sebaiknya diterapi dengan transfuse packed red cells, dimana saline isotonic hanya tepat untuk terpati penggantian cairan pada perdarahan ringan atau sedang atau kerusakan plasma (luka bakar, pankreatitis). Komposisi cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi namun biasanya hipotonik. Larutan hipotonik (mis. Saline 0,45%) biasanya direkomendasikan sebagai terapi pengganti awal pada GGA prerenal akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih dan gastrointestinal, walaupun salin isotonic dapat berguna pada kasus yang lebih berat. Terapi berkesinambungan sebaiknya berdasarkan pada pengukuran kandungan ion dan volume cairan yang dieksresikan. Kadar potassium serum dan status asam-basa sebaiknya dimonitor secara seksama. Gagal jantung membutuhkan penatalaksaan aktif dengan inotropik positif, agen penurun preload dan afterload, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanik seperti balon intraoaortik. Pengawasan hemodinamika invasif dibutuhkan sebagai pedoman terapi komplikasi pada pasien yang secara klinis fungsi kardiovaskulernya dan volume intravaskuler sulit dinilai.

Penatalaksanaan cairan biasanya sulit pada pasien dengan sirosis berkomplikasi asites. Pada keadaan ini, penting untuk membedakan antara full-blown sindrom hepatorenal, yang dapat membawa prognosis buruk, dengan GGA reversible yang disebabkan oleh hipovolemia akibat penggunaan diuretik berlebihan atau sepsis (misal, spontaneous bacterial peritonitis). Kontribusi hipovolemi terhadap kejadian GGA secara definitf dapat dinilai hanya dengan pemberian cairan tambahan. Cairan sebaiknya diberikan secara perlahan dan disesuaikan dengan jugular venous pressure dan bila perlu, dengan pengukuran CVP (Central venous pressure) dan PCWP (pulmonary capillary wedge pressure), lingkar perut, dan output urin. Pasien dengan komponen prerenal reversible biasanya memiliki peningkatan output urin dan penurunan kreatinin serum, dimana tidak ditemukan pada pasien dengan sindrom hepatorenal dan dapat terjadi peningkatan pembentukan asites serta gejala pulmoner jika tidak diawasi dengan baik. Volume berlebihan asites biasanya dapat didrainase dengan metode parasentesis tanpa penurunan fungsi ginjal jika albumin intravena diberikan secara bersamaan. Dikatakan bahwa paracentesis dalam volume besar dapat memicu peningkatan GFR, kemungkinannya dengan cara menurunkan tekanan intraabdominal dan memperbaiki aliran vena renalis. Pengalihan cairan asites dari peritoneum ke vena centralis (peritoneojugular shunt, LeVeen atau Denver shunts) merupakan pendekatan alternative pada kasus yang refrakter (sulit diobati) namun belum menunjukkan peningkatan harapan hidup pada kelompok kontrol. Efek teknik terbaru dengan transjugular intrahepatic portosystemic shunting (TIPS procedure) sekarang ini masih dalam penilitian yang serius. Pengalihan juga dapat secara perlahan memperbaiki GFR dan eksresi natrium, kemungkinan karena peningkatan volume darah sentral memicu pelepasan atrial natriuretic peptides (ANPs) dan menghambat sekresi aldosterone dan norepinephrine.

GGA RENAL.

Banyak pendekatan yang berbeda telah diteliti kemampuannya dalam mengurangi cedera atau mempercepat penyembuhan GGA iskemik dan nephrotoxic. Termasuk ANP, dopamine dosis rendah, antagonis endothelin, loop diuretics, calcium channel blockers, a-adrenoreceptor blockers, analog prostaglandin, antioxidants, antibody leukocyte adhesion molecules, dan insulin-like growth factor type I. Walaupun kebanyakan dari pendekatan ini bermanfaat pada model penelitian GGA iskemik dan nephrotoxic, namun tidak memperlihatkan manfaat yang konsisten (hasilnya bervariasi) dan terbukti tidak efektif pada manusia

GGA renal akibat penyakit intrinsic renal lainnya seperti glomerulonephritis akut atau vaskulitis dapat berespon terhadap kortikosteroid, alkylating agents, dan/atau plasmapheresis, tergantung dari patologi primernya. Glucocorticoids juga dapat mempercepat remisi pada kasus nephritis interstitial allergic. Pengendalian aktif terhadap tekanan arteri sistemik juga sangat penting dalam mengurangi cedera ginjal pada malignant hypertensive nephrosclerosis, toxemia pada kehamilan, dan penyakit vakuler lainnya. Hipertensi dan GGA akibat scleroderma dapat sangat sensitive dengan pengobatan ACE inhibitors.

GGA POSTRENAL

Penanganan GGA postrenal membutuhkan kolaborasi mendalam dari ahli nephrology, urology, dan radiology. Obstruksi urethra atau kandung kemih biasanya diatasi pertama-tama dengan kateter transurethra, yang akan memberikan penyembuhan temporer, sementara lesi obstruksi diidentifikasi dan kemudian diberikan terapi definitive. Mirip dengan itu, obstruksi ureter dapat diterapi mula-mula dengan katerisasi percutaneous terhadap pelvis renalis atau ureter yang terdilatasi. Obstruksi biasanya dapat disingkirkan secara percutaneous (mis, calculus) atau bypass dengan memasukkan stent ureter (misal, karsinoma). Sebagian besar pasien mengalami diuresis yang tidak biasanya selama beberapa hari setelah terapi obstruksi. Sekitar 5% pasien akan mendapatkan sindrom salt-wasting yang memerlukan pemberian salin intravena untuk menjaga tekanan darah

Penanganan supportif.

Untuk penanganan hipovolemia, intake natrium dan air disesuaikan dengan jumlah cairan yang hilang. Hypervolemia biasanya dapat ditangani dengan restriksi intake garam dan air serta pemakian diuretic seperti furosemide. Loop diuretics dosis tinggi seperti furosemida( 200-499 mg IV) atau bumetanide (sampai 10 mg diberikan dalam bentuk bolus IV atau dengan infus) dapat memacu diuresis pada pasien yang tidak berespon dengan dosis biasanya. Walaupun dikatakan bahwa dosis subpressor dopamine terkadang dapat memicu eksresi air dan natrium dengan meningkatkan aliran darah ginjal, meningkatkan GFR dan menghambat reabsorbsi natrium di tubulus; dopamin dosis rendah (subpressor) terbukti tidak efektif dalam penelitian klinis dan justru dapat mengakibatkan arritmia dan sudden cardiac death pada pasien dengan sakit yang berat, dan sebaiknya tidak digunakan sebagai agen renoprotektif pada keadaan seperti ini. Ultrafiltrasi atau dialisis digunakan untuk menangani hypervolemia yang berat jika penanganan regular gagal. Hyponatremia dan hypoosmolality biasanya dapat diatasi dengan restriksi intake cairan. Sebaliknya, hypernatremia ditangani dengan pemberian air atau larutan saline hypotonic atau cairan isotonic yang mengandung dextrose. Penanganan hyperkalemia dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.

Asidosis metabolic tidak selalu diatasi kecuali konsentrasi bikarbonat serum turun hingga di bawah 15 mmol/L atau arterial pH turun dibawah 7.2. Asidosis yang lebih berat dikoreksi dengan pemberian natrium bikarbonat melalui oral atau intravena. Jumlah pemberian awal disesuaikan dengan estimasi defisit dan disesuaikan berdasarkan kadar serum. Adanya komplikasi dari pemberian natrium bikarbonat perlu diwaspadai pada pasien, komplikasi dapat berupa hypervolemia, alkolosis metabolic, hypocalcemia, dan hypokalemia. Dari pandangan praktikal, kebanyakan pasien yang membutuhkan natrium bikarbonat membutuhkan dialysis darurat beberapa hari kemudian. Hyperphosphatemia juga umumnya dapat dikendalikan dengan restriksi fosfat, dan dengan aluminium hydroxida oral atau kalsium karbonat, yang mengurangi absorbsi fosfat pada saluran cerna. Hypocalcemia tidak selalu ditangani kecuali pada keadaan yang sangat berat hingga dapat menyebabkan rhabdomyolisis atau pankreatitis atau setelah pemberian bikarbonat. Hyperuricemia biasanya ringan [<890>

Tujuan dari penanganan nutrisi selama GGA fase maintenance adalah untuk menyediakan kalori yang cukup untuk menghindari katabolisme dan ketoasidosis akibat kelaparan sekaligus meminimalisir produksi limbah nitrogen. Tujuan ini paling baik dicapai dengan restriksi diet protein hingga sekitar 0.6 g/kg per hari untuk protein yang memiliki nilai bologis tertinggi (mis, kaya akan asam amino essensial) dan memberikan kalori terbanyak melalui karbohidrat(Sekitar 100 g setiap harinya). Penanganan nutrisi lebih mudah dilakukan pada pasien nonoligoric dan setelah dialysis. Hyperalimentasi parenteral dalam jumlah besar akan memperbaiki prognosis, namun, manfaat langsung belum diperlihatkan dari model control pada suatu penilitian

Anemia sering kali membutuhkan transfuse darah pada keadaan berat dan masa penyembuhan melambat. Berbeda dengan Gagal ginjal kronik, recombinant human erythropoietin jarang digunakan pada GGA karena resistensi sum-sum tulang terhadap erithropoetin sering terjadi, sehingga penanganan cepat terhadap anemia dibutuhkan dan gagal ginjal biasanya self-limiting. Perdarahan uremik biasanya terjadi setelah koreksi anemia, pemberian desmopressin atau estrogen, atau dialysis. Antasida dosis reguler sepertinya mengurangi insiden perdarahan gastrointestinal dan dapat lebih efektif pada keadaan ini dibandingkan Antagonis H2-reseptor atau PPI. Perawatan rutin kanula intravena, kateter urin, dan peralatan infasif lainnya sangat perlu dilakukan untuk mencegah infeksi. Sangat disayangkan, antibiotic profilaksis tidak menunjukkan penurunan insiden terjadinya infeksi pada pasien resiko tinggi ini

INDIKASI DAN MODALITAS DIALISIS

Dialisis dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal sampai terjadi regenerasi dan perbaikan dari fungsi ginjal. Hemodialysis dan peritoneal dialysis sepertinya sama efektifnya untuk penanganan GGA. Sehingga modalitas dialysis dipilih berdasarkan kebutuhan dari tiap-tiap pasien, (misalnya., peritoneal dialysis dipilih pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dan hemodialisis dilakukan setelah bedah abdominal yang melibatkan peritoneum), keahlian nephrologist, dan fasilitas yang disediakan Rumah Sakit. Akses vaskuler untuk conventional intermittent hemodialysis didapatkan dengan memasukkan kateter hemodialisis double-lumen ke dalam vena jugularis internm. vena subclavian dan femoral adalah akses alternative yang dapat digunakan. Peritoneal dialysis dilakukan dengan memasukkan kateter “cuffed” kedalam rongga peritoneum. Inikasi asolut dialysis termasuk adanya gejala sindrom uremik dan untuk menangani hypervolemia yang refrakter, hyperkalemia, dan asidosis. Kebanyakan nephrologists juga memulai dialysis jika kadar ureum darah >100 mg/dL, walaupun tidak ditemukan tanda klinis uremia. Namun, pendekatan ini belum divalidasi dengan penelitian klinis terkontrol. Bukti terkini mengatakan bahwa semakin intensif hemodialisis dilakukan (mis, tiap hari dibandingkan dengan tiap 2 hari ) semakin baik dan menunjukkan harapan hidup yang lebih baik pada GGA selama dialysis itu diperlukan. Kesimpulan ini mungkin tidak sesuai pada awalnya karena dialysis sendiri, telah dipostulat dapat memperpanjang periode oligouria pada beberapa kasus akibat hipotensi dan iskemi ginjal lebih lanjut dan melalui aktifasi leukosit pada membran dialysis yang kemudian dapat mencetuskan cedera pada ginja

Continuous renal replacement therapies (CRRTs) merupakan alternatif selain dari teknik hemodialisis intermitten konvensional sebagai penanganan GGA. CRRT merupakan teknik yang bermanfaat pada keadaan dimana hemodialisis intermitten konvensional gagal mengendalikan hypervolemia atau uremia dan orang yang tidak cukup dengan intermittent hemodialysis dan pada saat peritoneal dialysis tidak dapat dilakukan. Continuous arteriovenous hemodiafiltration (CAVHD) membutuhkan akses vena dan arteri. Tekanan darah pasien menciptakan ultrafiltrasi plasma pada pori membrane dialysis yang biocompatible. Larutan crystalloid fisiologis lewat melalui sisi lain dari membrane untuk terjadinya diffuse. Continuous venovenous hemodiafiltration (CVVHD), sebaliknya, hanya membutuhkan sebuah kateter vena double-lumen sebagai pompa yang menimbulkan tekanan ultrafiltrasi sepanjang membrane dialysis. Pada teknik yang lebih sederhana yaitu pada continuous arteriovenous hemofiltration (CAVH) dan continuous venovenous hemofiltration (CVVH) langkah dialysis disingkirkan dan ultrafiltrasi plasma dipindahkan dari membrane dialysis dan digantikan oleh larutan kristaloid fisiologis. Bukti terkini mengatakan bahwa terapi dialysis yang intermitten atau yang berkesinambungan sama efektifnya pada kasus GGA. Pemilihan teknik murni berdasarkan kebutuhan pasien, fasilitas rumah sakit, dan keahlian dari dokter. Potensi kekurangan dari teknik hemodialysis berkelanjutan yaitu membutuhkan immobilisasi yang panjang pada tempat tidur , antikoagulasi sistemik, dan kanul arterial (pada CAVH) dan terpaparnya darah lebih lama oleh membran dialisis (walaupun relatif biocompatible).

PROGNOSIS DAN OUTPUT JANGKA PANJANG

Nilai mortalitas pada pasien dengan GGA sekitar 50% dan telah berkurang sedikit selama 30 tahun terakhir. Perlu ditekankan, bagaimanapun, pasien biasanya meninggal akibat sekuele dari penyakit primer yang mencetuskan GGA dan bukan karena GGA itu sendiri. Dikatakan bahwa ginjal adalah salah satu dari sedikit organ yang fungsinya dapat digantikan oleh mesin (dialysis) untuk periode waktu yang cukup lama. Sesuai dengan interpretasi ini, jumlah mortalitas sangat bervariasi tergantung pada penyebab GGA, dan ~15% pasien kebidanan, ~30% GGA akibat toksin, and ~60% setelah trauma atau operasi besar. Oliguria (<400 style=""> >265 umol/L (>3 mg/dL) berprognosis buruk dan kemungkinan memperlihatkan keparahan dari cedera ginjal atau dari penyakit primer. Jumlah mortalitas lebih tinggi pada pasien lanjut usia dan pada pasien dengan kegagalan multiorgan. Kebanyakan pasien yang melewati episode GGA dapat sembuh dengan fungsi ginjal semula dan dapat melanjutkan hidup seperti biasanya. Namun, 50% kasus memiliki gangguan fungsi ginjal subklinis atau dapat ditemukan bekas luka residual pada biopsy ginjal. Sekitar 5% pasien tidak pernah kembali fungsi ginjalnya dan membutuhkan penggantian fungsi ginjal jangka panjang dengan dialysis atau transplantasi. Sebagai tambahan 5% kasus mengalami penurunan GFR progressif, setelah melalui fase awal penyembuhan, kemungkinan akibat stress hemodynamic dan sclerosis glomeruli yang tersisa.

Tidak ada komentar: