Sabtu, 13 Desember 2008

T O R C H

Disusun Oleh

Muhammad Akbar


TOKSOPLASMA

Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler yaitu Toksoplasma gondii. Penyakit ini mempunyai gejala klinik dengan manifestasi yang sangat bervariasi bahkan pada banyak pasien tidak menimbulkan gejala. Pada banyak pasien termasuk bayi dan pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, toksoplasmosis dapat mengancam jiwa. Pada bagian obstetri dan gynekologi, toksoplasmosis penting karena dapat menyebabkan penyakit pada ibu yang tidak diketahui penyebabnya dan sangat potensial menyebabkan infeksi bayi dalam kandungan yang dapat menyebabkan keguguran, kematian bayi dalam kandungan, dan kecacatan pada bayi.2,3,4,5,6


Siklus Hidup

Siklus hidup toksoplasma ada 5 tingkat :

  • fase proliferatif

  • stadium kista

  • fase schizogoni

  • gametogoni

  • fase ookista

Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista. Fase ini dapat terjadi dalam bermacam-macam inang. Siklus seksual secara spesifik hanya terdapat pada kucing.7,8,9

Fase proliferatif, yang menghasilkan tropozoit, terjadi secara intraseluler dalam banyak jaringan saat terjadi infeksi primer. Tropozoit menjadi berkurang jumlahnya pada saat imunitas inang terbentuk, dan infeksi dapat masuk ke dalam stadium kronis. Apabila terjadi penurunan dan penekanan daya tahan tubuh, tropozoit dapat kembali berproliferasi dan menjadi banyak. Fase proliferasi ini juga terjadi saat pembelahan sel.6,7,8,10

Kista dapat terbentuk setelah terjadi beberapa siklus proliferasi dimana terbentuk tropozoit. Kista ini dapat terbentuk selama infeksi kronis yang berhubungan dengan imunitas tubuh. Kista terbentuk intrasel dan kemudian terdapat secara bebas di dalam jaringan sebagai stadium tidak aktif dan dapat menetap dalam jaringan tanpa menimbulkan reaksi inflamasi. Pada saat ini antibodi dapat menurun meskipun masih terdapat infeksi. Pada saat daya tahan tubuh menurun dan pada saat fase proliferasi, kista tidak terbentuk. Kista pada binatang yang terinfeksi menjadi infeksius bila termakan oleh karnivora dan toksoplasma masuk melalui usus.6

Siklus seksual Toksoplasma gondii hanya terdapat pada kucing. Kucing dapat terinfeksi saat makan kista, pseudokista, atau ookista. Kemudian tropozoit masuk ke dalam epitel usus kucing dan membentuk schizon dan kemudian membentuk makrogamet dan mikrogamet. Ookista kemudian terbentuk dan dikeluarkan bersama feses kucing 3-5 hari setelah terinfeksi dan menetap didalamnya selama 1-2 minggu. Ookista kemudian menjadi sangat infeksius saat terjadi sporulasi setelah 1-3 hari pada suhu 22º C. Ookista dapat bertahan pada berbagai macam kondisi lingkungan dan pada udara bebas selama 1 tahun atau lebih.3,8

Infeksi pada manusia dapat terjadi saat makan daging yang kurang matang, sayur-sayuran yang tidak dimasak, makanan yang terkontaminasi kotorasn kucing, melalui lalat atau serangga. Juga ada kemungkinan terinfeksi saat menghirup udara yang terdapat ookista yang berterbangan.2,7,8,9

Cara penularan lain yang sangat penting adalah pada jalur maternofetal. Ibu yang mendapat infeksi akut saat kehamilannya dapat menularkannya pada janin melalui plasenta.2,3,8,9 Risiko terjadinya infeksi janin dalam rahim meningkat menuruit lamanya atau umur kehamilan. Pada ibu yang mendapat infeksi sebelum terjadinya konsepsi sangat jarang menularkannnya pada janin. Meskipun resiko infeksi meningkat sesuai umur kehamilan, tetapi > 90% dari infeksi yang didapat saat trimester III biasanya tidak memberikan gejala saat bayi lahir.11

Gejala Klinis

Pada toksoplasmosis kongenital berat dapat menyebabkan kematian janin, tetapi pada keadaan yang lain, infeksi dapat tidak memberikan gejala dan bayi dapat lahir normal. Kelainan pada janin dengan toksoplasmosis kongenital dapat berupa gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, hidrosefali, anensefali, mikrosefali, korioretinitis. Pada bayi dapat juga lahir tanpa gejala tetapi kemudian timbul gejala lambat seperti korioretinitis, katarak, ikterus, mikrosefali, pneumonia, dan diare.

Komplikasi jangka panjang yang serius adalah timbulnya kejang, retardasi mental dan gangguan penglihatan. Kebanyakan bayi yang meninggal karena infeksi toksoplasma mengalami kerusakan yang berat pada otak.2,3,5,7

Diagnosis

Pada pemeriksaan secara makroskopis, plasenta yang terinfeksi biasanya membesar dan memperlihatkan lesi yang mirip dengan gambaran khas dari eritroblastosis fetalis. Villi akan membesar, oedematus dan sering immatur pada umur kehamilan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran organisme dalam sel. Organisme sulit ditemukan pada plasenta, tetapi bila ditemukan biasanya terdapat dalam bentuk kista di korion atau jaringan subkorion. Identifikasi sering sulit, sebab sinsitium yang mengalami degenerasi sering mirip dengan kista.5,12

Pemeriksaan yang baru dan saat ini sering digunakan adalah dengan enzyme-linnked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan yang sering digunakan adalan dengan mengukur jumlah IgG, IgM atau keduanya. IgM dapat terdeteksi lebih kurang 1 minggu setelah infeksi akut dan menetap selama beberapa minggu atau bulan. IgG biasanya tidak muncul sampai beberapa minggu setelah peningkatan IgM tetapi dalam titer rendah dapat menetap sampai beberapa tahun.3,4,5

Secara optimal, antibodi IgG terhadap toksoplasmosis dapat diperiksa sebelum konsepsi, dimana adanya IgG yang spesifik untuk toksoplasma memberikan petunjuk adanya perlindungan terhadap infeksi yang lampau. Pada wanita hamil yang belum diketahui status serologinya, adanya titer IgG toksoplasma yang tinggi sebaiknya diperiksa titer IgM spesifik toksoplasma. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi yang baru saja terjadi, terutama dalam keadaan titer yang tinggi. Tetapi harus diingat bahwa IgM dapat terdeteksi selama lebih dari 4 bulan bila menggunakan fluorescent antibody test, dan dapat lebih dari 8 bulan bila menggunakan ELISA.

Diagnosis prenatal dari toksoplasmosis kongenital dapat juga dilakukan dengan kordosintesis dan amniosintesis dengan test serologi untuk IgG dan IgM pada darah fetus. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi akrena IgM tidak dapat melewati barier plasenta sedangkan IgG dapat berasal dari ibu. Meskipun demikian antibodi IgM spesifik mungkin tidak dapat ditemukan karena kemungkinan terbentuknya antibodi dapat terlambat pada janin dan bayi.3,5

Pedoman yang digunakan dalam menilai hasil serologi 2 :

  1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila4

    1. terdapatnya serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4 kali lipat dengan interval 2-3 minggu.

    2. Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi 1-3 minggu yang lalu.

    3. IgG avidity yang rendah

    4. Hasil Sabin-Feldman/ IFA >300 IU/ml atau 1:1000

    5. IgM-IFA 1:80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml

  2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan merupakan infeksi lampau.

  3. Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak dapat dipastikan sebagai infeksi akut dan harus dilakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan lain.

Penatalaksanaan

Infeksi toksoplasma pada ibu hamil dapat dicegah dengan cara menghindari tertelannya kista atau ookista berbentuk spora dengan menjaga kebersihan diri. Perlu kebiasaan mencuci tangan sebelum makan atau setelah kontak dengan kucing/ kotoran kucing, memasak makanan sampai matang benar (>66º C) dan menggunakan sarung tangan sewaktu berkebun. Buah-buahan dan sayur mentah harus dicuci bersih dan makanan dilindungi supaya tidak dihinggapi lalat, kecoa, dan serangga atau binatang lain yang mungkin dapat membawa kontaminasi dari kotoran kucing.2,13,14

Pengobatan terhadap ibu hamil yang terinfeksi akut dengan tujuan mengurangi infeksi ke janin, dosis yang dianjurkan WHO adalah :13,14,15

  1. Kombinasi antara sulfa, pirimethamin, dan asam folat dengan dosis :

  • Sulfonamide/ sulfadiazin 1000 mg per hari

  • Pirimethamin (Daraprim) 25 mg per hari

  • Asam folat 10 mg/ minggu (mencegah depresi sumsum tulang)

Dosis ini diberikan selama 4 minggu dan diulang lagi dengan interval 4 minggu dengan maksimum 3 siklus pemberian sampai terjadinya persalinan. Karena teratogenik maka kombinasi pirimethamin dan sulfa baru dapat digunakan setelah kehamilan 20 minggu.

  1. Pada kehamilan trimester I digunakan spiramisin, suatu antibiotika golongan makrolid dengan dosis 3x1 gram selama 4 minggu (9 juta unit) dan diulang tiap 4 minggu.

Pencegahan
  • Hindari kontak dengan kucing, tanah & daging mentah

  • Cuci tangan dengan sabun setelah memegang daging mentah & sebelum makan

  • Jangan memegang mulut & mata pd waktu mengolah daging mentah

  • Cuci sayur/lalap & buah

  • Hindari kontak dg bahan-bahan yang mungkin tercemar kotoran kucing

  • Pakai sarung tangan saat berkebun16



RUBELLA


Rubella atau campak jerman adalah infeksi virus RNA dari golongan Togavirus yang ditandai dengan ruam merah muda, demam, dan pembesaran kelenjar limfe. Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan mengakibatkan kecacatan.2,3,4,14

Patogenesis

Infeksi terjadi melalui selaput lendir saluran pernafasan bagian atas. Setelah tujuh hari timbal viremia yang berlangsung sampai timbulnya antibodi pada hari ke 12-14. Pembentukan antibodi bertepatan dengan timbulnya ruam. Setelah timbulnya ruam, virus dapat ditemukan dalam nasopharing.17

Gejala klinis

Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada trimestre I. Mula-mula replikasi virus terjadi dalam jeringan janin, dan menetap dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain.

Infeksi ibu pada trimester II juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada organ. Menetapnya virus dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti anemiahemolitika dengan hematopoesis extra meduler, hepatitis, nefritis interstitial, encefalitis, pancreatitis interstitial, dan osteomielitis.

Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :

  1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu:

  1. gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-satunya gejala yang timbul.

  2. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD, dan stenosis katup pulmonal.

  3. Gangguan mata : katarak dan glukoma. Kelainan ini jarang berdiri sendiri

  4. Retardasi mental

  1. Extended- sindroma rubella kongenital. Meliputi cerebral palsy, retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang, ikterus, dan gangguan imunologi (hipogamaglobulin).

  2. Delayed- sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan Diabetes Mellitus tipe 1, gangguan pada mata dan pendengaran yang baru muncul bertahun-tahun kemudian.2,14

Diagnosis

Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam. Diagnosis rubella ditegakkan bila titer meningkat 4 kali saat fase akut, dan biasanya imunitas menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari setelah timbul ruam, diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis antibodi IgM anti rubella dengan menggunakan sistem ELISA. IgM spesifik rubella dapat terlihat 1-2 minggu setelah infeksi primer dan menetap selama 1-3 bulan. Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi primer, tetapi bila negatif belum tentu tidak terinfeksi.

Diagnosis prenatal ditegakkan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin melalui CVS (chorionic villus sampling) atau kordosintesis. Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi.

Berdasar gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :

  • virus rubella yang dapat diisolasi

  • adanya IgM spesifik rubella

  • menetapnya IgG spesifik rubella

  1. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a atau satu dari item a dan b

  1. katarak dan/ atau glaucoma kongenital. Penyakit jantung kongenital, tuli, retinopati

  2. purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental, meningo encefalitis, penyakit tulang radiolusen.

  1. CRS posible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk CRS compatible.

  2. CRI (Congenital Rubella Infection). Temuan serologi tanpa defek

  3. Stillbirth. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal.

  4. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai dengan CRS, yaitu tidak adanya antibodi rubella pada anak umur <24>2

Penatalaksanaan

Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah satunya dengan cara pemberian vaksinasi. Pemberian vaksinasi rubella secara subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat memberi kekebalan yang lama dan bahkan bisa seumur hidup.

Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang tidak hamil. Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin berupa virus rubella hidup yang dilemahkan dapat beresiko menyebabkan kecacatan meskipun sangat jarang.

Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah viremia pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella. Bila didapatkan infeksi rubella dalam uterus, sebaiknya ibu diterangkan tentang resiko dari infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang berat dari infeksi pada trimester I, pasien dapat memilih untuk mengakhiri kehamilan, bila diagnosis dibuat secara tepat.18,19,20



SITOMEGALOVIRUS


Sitomegalovirus merupakan virus DNA dari golongan herpesviridae seperti : Herpes simplex virus tipe 1 dan 2, Varicella-Zoster, Eipstein Barr virus. Karakteristik virus dari golongan ini adalah kemampuannya untuk beradaptasi di dalam tubuh manusia sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan masa latent atau dormant. Virus ini merupakan penyebab utama infeksi kongenital, dan diperkirakan 0,2-2,2 % janin yang terinfeksi intrauterin dapat fatal bagi janin dan bila bertahan hidup dapat terjadi retardasi mental, buta atau tuli.2,3,7

Patofisologi

Infeksi CMV dimulai dengan interaksi antara virus dengan reseptor di permukaan sel, kemudian diikuti dengan penetrasi dan maturasi. Interaksi dan penetrasi ini dapat terjadi pada sel yang memungkinkan maupun yang tidak memungkinkan bagi CMV untuk tumbuh. Ha ini menunjukkan bahwa reseptor untuk CMV ini terdapat pada berbagai sel, dengan demikian sel spesifik untuk CMV ini lebih ditentukan oleh hal-hal setelah penetrasi.

Infeksi CMV menyebabkan pembesaran sel disertai inklusi intranuklear. Inti sel sering menunjukkan gambaran kromatin yang terdesak ke tepi, serta inklusi yang dikelilingi oleh suatu hallo yang jernih. Pada infeksi yang berat, semua sistem organ dapat terlibat. CMV secara khas menginfeksi sel-sel epitel duktal, sedangkan permukaan serosa dan mukosa juga terinfeksi dengan derajad yang lebih ringan.21

Meskipun bersifat sitopatik dan mampu merusak jaringan, CMV memiliki virulensi yang rendah. Replikasi virus yang lambat mengakibatkan lebih banyak virion intraseluler daripada ekstraseluler serta lebih banyak terdapat virion yang defektif. Disamping efek sitopatik, CMV juga merspon imun host dan vaskulitis yang biasa menyertai infeksi yang menyebabkan infeksi organ yang terlibat.

Setelah lepas dari sel yang terinfeksi, CMV dapat berikatan dengan dan diselubungi oleh 2-mikroglobulin sehingga virus dapat terlindungi dari antibodi penetral. CMV yang berasosiasi dengan sel menginduksi sintesa protein yang terlokalisir pada permukaan sel dan dapat berperan sebagai reseptor Fc immunoglobulin. Protein ini melindungi sel yang terinfeksi terhaadap efek sitotoksik sistem imun.

CMV bersifat imunosupresif. Respon proliferasi limfosit dihambat selama infeksi akut dan dan hal ini lebih memudahkan terjadinya infeksi CMV yang persisten. Setelah menginfeksi, CMV masuk dalam peredaran darah, dan menyebar diseluruh tubuh. Viruria dan viremia berlangsung beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan. Pada infeksi subklinik Ig M spesifik akan muncul pada awal infeksi dan menghilang setelah 12-16 minggu. Ig G spesifik mencapai puncak dalam 2 bulan pertama setelah infeksi, dan akan menetap seumur hidup.21

Gejala klinis

Hanya pada individu dengan penurunan daya tahan dan pada masa pertumbuhan janin sitomegalovirus menampakkan virulensinya pada manusia.

Tidak seperti virus rubella, sitomegalovirus dapat menginfeksi hasil konsepsi setiap saat dalam kehamilan. Bila infeksi terjadi pada masa organogenesis (trimester I) atau selama periode pertumbuhan dan perkembangan aktif (trimester II) dapat terjadi kelainan yang serius.

Pada trimester I infeksi kongenital sitomegalovirus dapat menyebabkan prematur, mikrosefali, IUGR, kalsifikasi intrakranial pada ventrikel lateral dan traktus olfaktorius, sebagian besar terdapat korioretinitis, juga terdapat retardasi mental, hepatosplenomegali, ikterus, purpura trombositopeni, DIC.

Infeksi pada trimester III berhubungan dengan kelainan yang bukan disebabkan karena kegagalan pertumbuhan somatik atau pembentukan psikomotor. Bayi cenderung normal tetapi tetap beresiko terjadinya kurang pendengaran atau retardasi psikomotor.

Mortalitas infeksi kongenital cukup tinggi yaitu sebesar 20-30 % dan dari yang bertahan hidup 90% akan menderita komplikasi lambat seperti retardasi mental, buta, defisit psikomotor, tuli dan lain-lain. Gejala lambat juga timbul pada 5-15% dari mereka yang lahir asimtomatik seperti gangguan pendengaran tipe sensorik sebelum tahun kedua.2,7


Diagnosis

Untuk dapat menegakkan diagnosis infeksi sitomegalovirus ibu dibutuhkan antara lain:14

    1. peningkatan titer antibodi anti sitomegalovirus sebesar lebih dari 4 kali (konversi serologi)

    2. adanya antibodi IgM ibu, atau

    3. isolasi virus

Pada bayi baru lahir, kultur CMV dapat diambil dari urine dan cairan amnion. TORCH screen antibody assays, terutama mengukur IgG, memerlukan 2 contoh serum untuk diagnosis yang lebih tepat, yang pertama diambil pada neonatus saat lahr, dan yang kedua pada umur 4-6 bulan. Penurunan titer antiboodi CMV menunjukkan bahwa antibodi dari ibu ke janin, dialirkan melalui plasenta. Titer yang menetap atau meninggi akan membantu diagnosis infeksi kongenital, perinatal atau paska natal.21

Bila ditemukan adanya IgM pada bayi baru lahir menujukkan suatu infeksi kongenital, sedangkan IgG pada bayi dapat terjadi karena transfer pasif melalui plasenta ibu.

Pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendiagnosis abnormalitas fetus dalam kandungan adalah dengan pemeriksaan USG. Melalui USG, dapat diketahui adanya kalsifikasi intrakranial, IUGR, hidrosefalus, ventrikulomegali, oligohidramnion, plasenta besar, asites, dan peritonitis mekoneum.22

Karakteristik yang penting dan perlu diperhatikan pada infeksi maternal, neonatal dan kongenital adalah kemampuan penyebaran infeksi pada lingkungan sekitarnya. Bayi dengan infeksi sitomegalovirus kongenital dapat mengeluarkan virus yang infeksius dari orofaring dan traktus urinarius. Untuk itu diharapkan ibu hamil dengan seronegatif tidak melakukan kontak dengan bayi tersebut. Kemungkinan peningkatan transmisi kongenital hanya bila :14

  1. Didapatkan titer virus yang tinggi (menandakan adanya infeksi yang baru terjadi)

  2. Adanya peningkatan lebih dari 4 kali antibodi spesifik.

  3. Adanya antibodi IgM anti sitomegalovirus.

Penatalaksanaan

Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengatasi infeksi maternal, dan karena resiko terjadinya morbiditas fetal adalah rendah pemeriksaan penyaring serologis selama kehamilan mempunyai nilai yang terbatas. Berbeda dengan infeksi virus rubella, antibodi sitomegalovirus tidak dapat melindungi kemungkinan infeksi kongenital pada kehamilan yang berikutnya, sehingga kegunaan vaksinasi untuk sitomegalovirus diragukan.

Yang penting dan perlu diperhatikan bagi wanita hamil yang seronegatif harus mencegah agar tidak terlalu sering kontak dengan anak-anak usia 2-4 tahun terutama yang diketahui menderita infeksi infeksi sitomegalovirus, dan selalu menjaga kebersihan diri dengan membiasakan selalu mencuci tangan setelah kontak dengan produk cairan anak-anak seperti muntahan, popok, dan lain-lain.21



HERPES SIMPLEKS

Virus herpes simpleks adalah merupakan virus DNA, dan seperti virus DNA yang lain mempunyai karakteristik melakukan replikasi didalam inti sel dan membentuk intranuclear inclusion body. Intranuclear inclusion body yang matang perlu dibedakan dari sitomegalovirus. Karakteristik dari lesi ini adalah adanya central intranuclear inclusion body eosinofilik yang ireguler yang dibatasi oleh fragmen perifer darin kromatin pada tepi membran inti.

Berdasarkan perbedaan imunologis dan klinis, virus herpes simpleks dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :

    1. virus herpes simpleks tipe 1 yang menyebabkan infeksi herpes non genital, biasanya pada daerah mulut, meskipun kadang-kadang dapat menyerang daerah genital. Infeksi virus ini biasanya terjadi saat anak-anak dan sebagian besar seropositif telah didapat pada waktu umur 7 tahun.

    2. virus herpes simples tipe 2 hampir secara ekslusif hanya ditemukan pada traktus genitalis dan sebagian besar ditularkan lewat kontak seksual.2,3,4,7

Penyebaran

Virus herpes simpleks menyebar melalui kontak tubuh secara langsung dan sebagian besar dengan kontak seksual. Dalam keadaan tanpa adanya antibodi, kontak dengan partner seksual yang menderita lesi herpes aktif, sebagian besar akan mengakibatkan panyakit yang bersifat klinis.

Penyebaran transplasenta sangat jarang terjadi dan masih belum jelas, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengna penularan virus herpes yang lain seperti sitomegalovirus, Eipstein-Barr virus dan lain-lain.

Penularan pada bayi dapat terjadi bila janin yang lahir kontak dengan virus pada ibu yang terinfeksi virus aktif dari jalan lahirnya dan ini merupakan penularan pada neonatal yang paling sering terjadi. Meskipun demikian kejadian herpes neonatal kecil sekali yaitu 1:25.000 kelahiran. Beberpaa keadaan yang mempengaruhi terjadinya herpes neonatal adalah banyak sedikitnya virus, kulit ketuban masih utuh atau tidak, ada atau tidaknya lesi herpes genital, dan ada atau tidaknya antibodi virus herpes simpleks. Pada ibu hamil dengan infeksi primer dan belum terbentuk antibodi maka penularan dapat terjadi sampai 50% sedangkan pada infeksi rekuren hanya 2,5-5%.

Gejala klinik

Secara umum gejala klinik infeksi virus herpes simpleks dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu :2,7

  1. Infeksi primer yang biasanya disertai gejala (simtomatik) meskipun dapat pula tanpa gejala (asimtomatik). Keadaan tanpa gejala kemungkinan karena adanya imunitas tertentu dari antibodi yang bereaksi silang dan diperoleh setelah menderita infeksi tipe 1 saat anak-anak. Masa inkubasi yang khas selama 3-6 hari yang diikuti dengan erupsi papuler dengan rasa gatal, atau pegal-pegal yang kemudian menjadi nyeri dan pembentukan vesikel dengan lesi vulva dan perineum yang multipel dan dapat menyatu. Vesikel yang terbentuk pada perineum dan vulva mudah terkena trauma dan dapat terjadi ulserasi serta terjangkit infeksi sekunder. Lesi pada vulva cenderung menimbulkan nyeri yang hebat dan dapat mengakibatkan disabilitas yang berat. Dalam waktu 2-4 minggu, semua keluhan dan gejala infeksi akan menghilang tetapi dapat kambuh lagi karena terjadinya reaktivasi virus dari ganglion saraf.

  2. Infeksi rekuren. Setelah infeksi mukokutaneus yang primer, partikel-partikel virus akan menyerang sejumlah ganglion saraf yang berhubungan dan menimbulkan infeksi laten yang berlangsung lama. Infeksi laten dimana partikel-partikel virus terdapat dalam ganglion saraf secara berkala akan terputus oleh reaktivasi virus yang disebut infeksi rekuren yang mengakibatkan infeksi yang asimtomatik secara klinis (pelepasan virus) dengan atau tanpa lesi yang simtomatik. Lesi ini umumnya tidak banyak, tidak begitu nyeri serta melepaskan virus untuk periode waktu yang lebih singkat (2-5 hari) dibandingkan dengan yang terjadi pada infeksi primer, dan secara khas akan timbul lagi pada lokasi yang sama. Walaupun sering terlihat pada infeksi primer, infeksi serviks tidak begityu sering terjadi pada infeksi virus yang rekuren.

Infeksi primer pada ibu dapat menular pada janin melalui plasenta atau lewat koriopamnion yang utuh dan dapat menyebabkan abortus spontan, prematuritas, ataupun kelainan kongenital dengan gejala mirip infeksi pada sitomegalovirus seperti mikrosefali, korioretinitis, IUGR. Janin hampir selalu terinfeksi oleh virus yang dilepaskan dari serviks atau traktus genitalis bawah setelah ketuban pecah atau saat bayi dilahirkan. Infeksi herpes pada bayi baru lahir mempunyai salah satu dari ketiga bentuk berikut ini :2,14

  1. Diseminata (70%), menyerang berbagai organ penting seperti otak, paru, hepar, adrenal, dan lain-lain dengan kematian lebih dari 50% yang disebabkan DIC atau pneumonitis, dan yang berhasil hidup sering menderita kerusakan otak. Sebagian besar bayi yang terseranng bayi prematur.

  2. Lokalisata (15%) dengan gejala pada mata, kulit, dan otak dengan kematian lebih rendah dibanding dengan bentuk disseminata, tetapi bila tidak diobati 75% akan menyebar dan menjadi bentuk diddeminata yang fatal. Bentuk ini sering berakhir dengan kebutaan dan 30% disertai kelainan neurologis.

  3. Asimtomatik hanya terjadi pada sebagian kecil penderita herpes neonatal.

Diagnosis

Ditemukannya virus dalam kultur jaringan. Sayangnya pemeriksaan ini cukup mahal dan membutuhkan waktu lebih dari 48 jam. Cara yang lebih cepat adalah dengan memeriksa adanya antibodi secara ELISA, dengan sensitivitas 97,5 % dan spesifitas 98% meskipun waktu yang dibutuhkan tetap lebih dari 24 jam.

Penatalaksanaan

Prinsip utama adalah jangan biarkan virus dan bayi bertemu. Wanita yang terkena infeksi virus herpes genitalia dianjurkan untuk tidak hamil. Apabila ibu sudah terlanjur hamil hati-hati dengan ancaman partus prematuria dan viremia pada ibu karena penurunan daya tahan tubuh. Ibu yang terkena virus herpes genitalia dan bayi yang lahir dengan herpes neonatal dapat diobati dengan acyclovir atau vidarabine yang aman terhadap kehamilan maupun pada bayinya.

Karena beratnya ancaman infeksi virus herpes pada neonatus, persalinan perabdominam dianjurkan pada kasus-kasus dengan dugaan lesi herpes pada genitalia atau dengan kultur atau Pap smear terakhir yang memperlihatkan hasil positif untuk virus herpes. Kultur hanya dilakukan pada ibu dengan lesi herpetik yang mencurigakan. Bila tidak terdapat lesi, persalinan dapat dilakukan pervaginam.

Bayi yang lahir dengan ibu atau bapak yang sedang terserang herpes genital atau oral dapat dirawat gabung dengan ibu, dan dapat diberikan ASI bila tidak ada lesi pada puting dan dihindari kontak langsung dengan setiap lesi yang ada.

Sejak tahun 1980an mulai digunakan pengobatan antivirus untuk infeksi herpes dengan acyclovir. Acyclovir dapat digunakan dalam beberapa bentuk preparat antara lain krim untuk topikal, powder untuk intravena, kapsul oral dan suspensi oral. Preparat tiopikal digunakan dengan dioleskan pada daerah terinfeksi setiap 3 jam, 6 kali perhari, selama 7 hari. Acyclovir intravena diberikan pada kasus yang berat dengan dosis 5 mg/kg setiap 8 jam selama 5 hari.

Kapsul oral acyclovir diindikasikan untuk 3 keadaan yaitu : Pengobatan infeksi primer, pengobatan infeksi ulang yang berat dan penekanan rekurensi yang serinng dan berat. Dosis pemberian acyclovir oral adalah 200 mg, 5 kali perhari selama 10 hari.

Sampai saat ini belum ditemukan vaksinasi yang efektif untuk infeksi virus herpes simpleks, meskipun pada model binatang didapatkan vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi dan untuk mengurangi pembentukan fase laten di ganglion saraf.2,7


KESIMPULAN

TORCH

  1. Toxoplasmosis

  2. Others (Syphilis, GBS, Listeriosis, dsb)

  3. Rubella

  4. Cytomegalovirus (+ Chlamydia trachomatis)

  5. Herpes Simplex (+Virus Hepatitis B, HIV, HPV, Human Parvovirus B 19)

Cara infeksi fetal/neonatal

  1. Intrauterin

- Transplasental

-Korioamnionitis

  1. Intrapartum

- Paparan maternal

- Kontaminasi eksternal

  1. Neonatal

- Transmisi dari orang lain

- Peralatan

Prevalensi dan Transmisi


Toxo

Rubella

CMV

HSV

Prevalensi seropositif

3-50%

10-15%

35-90%

No data

Transplasental

+

+

+

+

Intrapartum

-

-

+

+

Postnatal

+

+

+

+

Test Diagnostik

  1. Direk: deteksi antigen (kultur & teknik diagnostik molekuler)

- Teknis sulit, makan waktu, mahal

2. Indirek: respon imunologik maternal

- Mengatasi kelemahan cara direk

- Meramalkan perjalanan penyakit

- Mengikuti perjalanan alamiah penyakit

- Monitoring respon terapi

Teknik menentukan saat terjadi infeksi maternal

  1. Adanya serokonversi

  2. Aviditas IgG

  3. Pola hasil test negatif atau positif yang dilakukan secara pararel

  4. Model matematik berdasar hasil test yang dilakukan secara berpasangan (paired testing)


DAFTAR PUSTAKA

  1. Pedersen B.S, Infeksi TORCH pada kehamilan, Departemen of Obstetric and Gynaecology, national Hospital, University of Oslo, Norway.

  2. Nies BM, Lien JM, Grossman JH III. TORCH Virus-induced Fetal Disease, in. Reece EA, Hobbins JC, Mahoney MJ. Medicine of the Fetus and Mother. Philadelpia : JB Lippincott Co, 1992 ; 349-52.

  3. Cunningham FG, Mac Donald PC, Leveno KJ, Gant NF, Gilstrap LC III. William’s Obstetrics. 19th ed. Connecticut : Prentice-Hall International Inc, 1993 : 1281-97.

  4. Sever JL. Viral-Induced teratogenesis, in. Reece EA, Hobbins JC, Mahoney MJ. Medicine of the Fetus & Mother. Philadelpia : JB Lippincott Co, 1992 ; 342-6.

  5. Friedman EA, Acker DB, Sachs BP. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri (terjemahan). Edisi kedua. Jakarta ; Binarupa Aksara, 1998, 150-60.

  6. Naeye Rl. Disorder of the Placenta, Fetus and Neonate. 1992 ; 211-3.

  7. Sweet RL, Gibbs RS. Infection Diseases of The Female Genital Tract. 3rd ed. Baltimore: Williams & Wilikins, 1995; 35-308.

  8. Ritchie AC. Boyd’s Textbook of Pathology. 9th ed. 1: 502-3.

  9. Marcial MA, Marcial RA, Rojas. Protozoal and Helminthic Diseases, in Kissane JM, ed, Anderson’s Pathology. 9th ed. Toronto : The Mosby Co, 1990: 1: 448-50.

  10. Rahman MS, Rahman J. Toxoplasma in Pregnancy in Keith LG, Berger GS, Edelman DA. Uncommon Infectious and Special Topics. 1985; 2: 45-55.

  11. Chandra G. Toxoplasma Gondii : Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Medika. 2001, No 1; 297-304.

  12. Saifuddin AB, ed. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : JNPKKR – POGI – Yayasan Bina Pustaka-Sarwono Prawirohardjo, 2000; 221-9.

  13. Hadijanto B. Toksoplasmosis dalam Kehamilan. Simposium Kemajuan Obstetri III. Semarang : POGI Cab. Semarang, 2001.

  14. Monif GRG. TORCH syndrome. Omaha : IDI Publications, 1993.

  15. Gandahusada S, Sutanto I. Kumpulan Makalah Simposium Toxoplasmosis. Jakarta : FK UI, 1990.

  16. Ibnu Pranoto, Pengaruh Toksoplasmosis pada Kehamilan, SMF Obstetri & Ginekologi, FK UGM, RSUP Dr. Sardjito. Yogyakarta, 2005.

  17. Jawetz F. Melnick J.L, Adelberg E.A, Famili Virus Paramyxo dan Virus Rubella, dalam Review of Medical Microbiology, 18th edition, 1990, Lange Medical Publication, California.

  18. Hadono S.T, Penyakit Menular dalam Ilmu Kandungan, Edisi Kedua, 1999, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

  19. Rubella (German Measles) from The Centers for Disease Control and Prevention, Imunization Information-Riubella (German Measles) Overview. Date Last Rewd, March 9, 1995

  20. Herman B., Perry S.K., The Twelve Month Pregnancy, by arrangement with RGA Publising. Inc.

  21. Praseno, Iman. S., Loehoeri, S., Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Toksoplasmosis dan Citomegalovirus pada Anak dan Dewasa, dalam Siang Klinik, IDI cab. Sleman DIY, 2001.

  22. Bodensteiner ,JB., Congenital infection of the nervous system, Semin Pediatr Neurol, 1971.


2 komentar:

Irfansiswanto mengatakan...

mantap...... tapi kurang lengkap

Muhammad Akbar mengatakan...

Irfan... terima kasih... bila kurang lengkap mohon dibantu agar teman2 yg lain bisa memperoleh informasi yg lebih lengkap... :)